Biografi Imam Al-Albani

Biografi Imam Al-Albani
Hadist merupakan salah satu rujukan sumber hukum Islam di samping kitab suci Al-Qur’an. Di dalam hadist Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam itulah terkandung jawaban dan solusi masalah yang dihadapi oleh umat di berbagai bidang kehidupan. Berbicara tentang ilmu hadist, umat Islam tidak akan melupakan jasa Al-Albani. Ia merupakan salah satu tokoh pembaharu Islam abad ini.

Karya dan jasa-jasanya cukup banyak dan sangat membantu umat Islam terutama dalam menghidupkan kembali ilmu hadits. Ia berjasa memurnikan ajaran Islam dari hadits-hadits lemah dan palsu serta meneliti derajat hadits. Al-Albani mempunyai nama lengkap Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar, ibu kota Albania masa lampau. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya secara materi, namun sangat kaya ilmu. Ayah al Albani bernama Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari`at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul).


Ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, Syaikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya ia memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Dari sana, ia sekeluarga bertolak ke Damaskus. Setiba di Damaskus, Syaikh al-Albani kecil mulai mempelajari bahasa Arab. Al-Albani kecil masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jum`iyah al-Is`af al-Khairiyah. Ia terus belajar di sekolah tersebut hingga kelas terakhir dan lulus di tingkat Ibtida`iyah.

Selanjutnya, ia meneruskan belajarnya langsung kepada para syaikh. Ia mempelajari Al-Qur’an dari ayahnya sampai selesai, disamping juga mempelajari sebagian fikih madzab Hanafi. Al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai ia menjadi ahlinya. Keterampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya. Pada umur 20 tahun, pemuda Al-Albani mulai berkonsentrasi  pada ilmu hadits. Ketertarikannya itu berawal dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha. Tulisan-tulisan sang syaikh, sangat memukau hatinya.

Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul Al-Mughni `an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar, karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya` Ulumuddin-nya Al-Ghazali. Awalnya,  kegiatan Al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya. Ia mengomentarinya begini, ‘’Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut).'’ Namun Syaikh al-Albani justru semakin cinta pada dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan perpustakaan adh-Dhahiriyah di Damaskus. Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus.

Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya sampai-sampai ia menutup kios reparasi jamnya. Al-Albani lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah hingga mencapai 12 jam setiap harinya. Tidak pernah istirahat menelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu shalat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan. Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuknya. Bahkan, kemudian ia diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, Al-Albani makin leluasa mempelajari banyak sumber. Syaikh Al-Albani pernah dua kali mendekam dalam penjara.

Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid`ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah. Pengalaman mengajarnya dilakukan ketika menjadi pengajar di Jami`ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun. Dari tahun 1381-1383 H, ia mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu ia pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syaikh Al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di Kerajaan Yordania.

Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 - 1398 H ia kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam`iyah Islamiyah di sana. Di negeri itu pula, Al-Albani mendapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H. 

Sebelum meninggal, Syaikh Al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku hasil foto kopi, manuskrip-manuskrip (yang ditulis olehnya ataupun orang lain) seluruhnya diserahkan kepada pihak perpustakaan Jami`ah. Ia wafat pada hari Jumat malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania.

Karya-karya Al-Albani

Karya-karya beliau amat banyak, ada yang sudah dicetak, ada yang
masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang). Jumlahnya sekitar 218 judul. Karya yang terkenal antara lain:
* Dabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
* Al-Ajwibah an-Nafi`ah `ala as`ilah masjid al-Jami`ah
* Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
* Silisilah al-Ahadits adh-Dha`ifah wal Maudhu`ah
* At-Tawasul wa anwa`uhu
* Ahkam Al-Jana`iz wabida`uha.

Selain itu, beliau juga memiliki buku kumpulan ceramah, bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat, dan buku berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.


Read More

Biografi Imam Ahmad

Biografi Imam Ahmad
Beliau bernama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin Auf  bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith bin Hanab bin Qushay bin Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazzar bin Ma’d bin Adnan. Beliau lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awal 164 Hijriah.


Imam Ahmad mulai mencari hadits ketika berumur 16 tahun. Sejak kecil Imam Ahmad sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai berbagai disiplin ilmu dan banyak menghafal hadits. Beliau menempuh rihlah (perjalanan untuk mencari ilmu) ke berbagai Negara, seperti ke Kufah, Bashrah, Hijaz, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, Maroko, Aljazair, Persia, Khurasan dll. Setelah melakukan rihlah yang panjang ini, akhirnya Imam Ahmad pun kembali lagi ke Baghdad hingga pada masanya, dia menjadi ulama terkemuka.Imam Ahmad berguru kepada Abdurrazaq di Shan’a daerah Yaman pada tahun 197 Hijriah dan akhirnya menemani Yahya bin Ma’in. Yahya berkata, “Ketika kami akan pergi berguru pada Abdurrazaq di Yaman, maka terlebih dahulu menunaikan haji. Disaat aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat Abdurrazaq juga sedang  berthawaf kemudian aku mendekatinya dan mengucapkan salam padanya. Setelah aku mengenalkan Ahmad bin Hambal kepada Abdurrazaq, maka Abdurrazaq berkata kepada Ahmad bin Hambal, “semoga Allah memberikan umur panjang dan menetapkan langkahmu dalam kebaikan. 

Sesungguhnya telah sampai kabar tentang dirimu yang kesemuannya adalah kabar baik.” Aku (Yahya) katakan kepada Ahmad bin Hambal, ‘Allah telah mendekatkan apa yang menjadi tujuan kita. 
Apabila kita meminta hadits riwayat Abdurrazaq disini, maka perbekalan kita tentu tersisa banyak daripada kita menemuinya dirumahnya yang akan menelan perjalanan satu bulan.” Ahmad bin Hambal lalu menjawab, “Demi Allah aku tidak akan mengubah niatku. Dari Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari Abdurrazaq di Shan’a, Kita harus menempuh perjalanan untuk bertemu Abdurrazaq di sana.” Akibat perjalanan yang jauh itu, maka Ahmad akhirnya kehabisan bekal, namun ketika kami diberi uang Dirham dalam jumlah yang banyak oleh Abdurrazaq, maka Ahmad menolaknya; ketika uang itu diberikan Abdurrazaq dalam bentuk pinjaman, Ahmad pun masih tetap tidak mau menerimanya;lalu kami tawarkan uang bekal kami kepada Ahmad, akan tetapi dia pun tidak mau menerima. Pada saat kami perhatikan bagaimana Ahmad memenuhi kebutuhannya, ternyata kami temukan dia telah bekerja dan makan dari hasil kerja tersebut.”

Imam Ahmad memiliki hafalan yang kuat sebagaimana diceritakan Abu Zur’ah Ar-Razi, beliau berkata, “Ahmad bin Hambal telah hafal sebanyak satu juta hadits.” Ketika hal itu ditanyakan kepada Ahmad, “Bagaimana engkau dapat menghafalnya?” Maka Ahmad menjawab, “Aku selalu mempelajarinya dengan menjadikannya beberapa bab.”

- Zuhudnya

Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, “Ahmad bin Hambal sering kali membuat adonan tanpa cuka. Aku sering melihatnya memakan roti keras dan kasar yang dikibas-kibaskan karena terkena debu. Roti itu lalu diletakkan di panci besar lalu dia menuangkan air kedalamnya agar lembek. Setelah lembek, dia memakannya dengan garam. Musa bin Hammad Al-Barbari berkata, “Al-Hasan bin Abdil Aziz membawa warisannya dari Mesir kepadaku sebanyak seratus ribu Dinar. Al-Hasan juga membawa untuk Ahmad bin Hambal tiga kantong dengan setiap kantongnya berisi seribu Dinar. Al-Hasan berkata kepada Ahmad bin Hambal, “Wahai Abu Abdillah, uang ini adalah dari harta warisan yang halal. Ambillah untuk memenuhi kebutuhanmu!” kemudian Ahmad menjawab, “Aku tidak membutuhkannya karena aku masih berkecukupan.” Pada akhirnya, Ahmad bin Hambal tetap menolak dan tidak mau menerima uang tersebut sedikit pun.

Ishaq bin Hani’ berkata, “Aku keluar pagi-pagi untuk meminta Ahmad bin Hambal mengajarkan kepadaku kitab karyanya Az-Zuhd. Kemudian aku memasang karpet dan bantal sebagai tempat duduknya. Ketika Ahmad melihat karpet dan bantal yang aku pasang, maka dia bertanya kepadaku, “Apakah ini?” Aku menjawab, “Ini adalah tempat dudukmu.” Lalu dia berkata, “Ambil karpet dan bantal itu. Berbicara zuhud harus dengan zuhud.” Setelah aku lipat karpet tersebut, baru dia duduk diatas tanah.

Al-Ulaimi berkata, “Gemerlap dunia telah menghampirinya, tetapi dia tidak menghiraukannya, kedudukan ditolak dan harta benda pun tidak diinginkannya. Imam Ahmad bin Hambal menolak itu semua karena dirinya merasa cukup.

Dalam kesederhanaannya dia berkata, “Harta sedikit bisa mencukupi dan harta banyak tidak bisa mencukupi. Sesungguhnya makanan itu bukanlah makanan kecuali yang dimakan, pakaian juga bukan pakaian dan hari-hari didunia ini teramat sedikit dan pendek sekali.”

Budi Pekerti dan Akhlaknya

Abu Dawud As-Sijistani menceritakan bahwa Ahmad bin Hambal tidak pernah turut campur terlalu mendalam ketika membahas masalah duniawi seperti orang-orang pada umumnya. Akan tetapi, ketika dipaparkan masalah agama dihadapannya, maka dia akan angkat bicara dan tidak pernah tinggal diam.

Halaqah pengajian Ahmad bin Hambal adalah pengajian akhirat yang disana tidak akan dibahas masalah keduniawian. Aku belum pernah melihat walau sekali saja Imam Ahmad berbicara masalah dunia.” Abu Nu’aim dengan sanadnya dari Al-Abbas bin Muhammad Ad-Durri dari Ali bin Mirarah, dia berkata, “Ibuku mengalami lumpuh sekitar dua puluh tahun lamanya. Pada suatu hari, ibuku berkata kepadaku, “Pergilah kamu ketempat Ahmad bin Hambal dan mintalah kepadanya agar dia mendoakan kesembuhanku,” sehingga aku pun pergi kerumahnya. Ketika aku sudah sampai didepan rumahnya, aku lalu mengetuk pintunya, sementara Ahmad bin Hambal sedang berada diruangan khususnya, dari dalam rumahnya dia bertanya, “Siapa yang ada dibalik pintu?” Aku menjawab, “Aku salah seoramg tetanggamu.” Aku sampaikan kepadanya bahwa ibuku adalah seorang yang lumpuh, ia menyuruhku  agar aku kesini untuk memintakan doa darimu.” Setelah itu, aku mendengar suara Imam Ahmad seperti orang yang sedang marah, dia berkata, “Kami lebih membutuhkan doa darimu.” Karenanya, aku lalu bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi,  Belum lagi aku beranjak melangkahkan kakiku, tiba-tiba muncul seorang perempuan tua dari rumah berkata, “Apakah kamu orang yang baru saja berkata dengan Ahmad bin Hambal?” Aku menjawab, “Benar.” Lalu perempuan tua itu berkata, “Ketika kamu meninggalkannya, dia sudah mendoakan ibumu.” Mendengar ucapan perempuan tua itu, seketika aku pulang kerumahku. Ketika aku hendak mengetuk pintu, maka aku dapati ibuku sudah bisa berjalan dengan kedua kakinya bahkan sudah bisa membukakan pintu. Ibuku berkata, “Allah benar-benar memberiku kesehatan.”

- Keteguhannnya mengikuti Sunnah

Imam Ahmad berkata, “Aku tidak pernah menulis satu pun hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kecuali hadits itu sudah aku amalkan. Ketika aku menjumpai hadits “sesungguhnya Rasulullah pernah berobat dengan berbekam dan memberi upah Abu Thaibah satu Dinar”  maka, aku pun telah mempraktekkannya dengan memberi upah satu Dinar kepada tukang bekam.

Cobaan yang menimpanya

Telah berlaku sunnatullah bagi manusia bahwasanya Allah akan memberikan ujian kepada manusia untuk membuktikan keteguhan keimanan seseorang, sehingga benarlah orang-orang yang benar dan dustalah para pembohong terhadap apa yang mereka katakan. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi?” dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sessungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)

Rasulullah pernah ditanya tentang manusia yang paling hebat dan dahsyat cobaannya, maka beliau bersabda, artinya: “Para nabi, kemudian orang yang dibawahnya dan dibawahnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Secara silih berganti dan berurutan, Ahmad bin Hambal menghadapi cobaan dari empat penguasa sekaligus. Diantara keempatnya ada yang mengancam dan meneror; ada yang memukul dan memasukannya ke penjara; ada yang menggiring dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengiming-imingi kekuasaan dan harta kekayaan. Akan tetapi, semua itu justru membuat Ahmad bin Hambal bertambah tegar dan tetap pada pendirian semula serta bertambah kuatlah keimanan dan keyakinannya.

Al-Ulaimi berkata, “Ketika Al-Makmun Abu Ja’far bin Harun Ar-Rasyid mulai memerintah, tepatnya dimulai dari bulan Muharram, tahun 198 Hijriyah, kaum Mu’tazilah mulai bersuara kembali dan mempengaruhi Al-Makmun untuk meninggalkan jalan yang benar menuju jalan yang bathil. Mereka memperindah perkataan mereka yang hina dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an itu adalah makhluk. 

Akibatnya, Al-Makmun pun mengikuti pendapat mereka. Menjelang akhir usia Al-Makmun, tepatnya sewaktu pasukan Al-Makmun keluar dari Baghdad hendak menyerang tentara Romawi, pada saat itulah, Al-Makmun menulis surat pada Ishaq bin Ibrahim yang pada saat itu menjabat sebagai perwira tertinggi tentaranya agar mengajak kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti golongannya yang menganggap Al-Qura’an adalah makhluk. Namun, orang-orang menolak seruan tersebut. Akhirnya, mereka pun menempuh jalan kekerasan dan paksaan sehingga kebanyakan dari orang-orang tersebut pun mengikutinya dengan terpaksa. Akan tetapi, Ahmad bin Hambal tetap menolaknya sehingga Al-Makmun semakin geram dan marah. Kemudian Ahmad bin Hambal dibawa dengan unta untuk dihadapkan kepada khalifah Al-Makmun. Ahmad bin Hambal lalu diseret untuk dihadapkan kepada khalifah Al-Makmun.

Dalam kesempatan itu, Al-Makmun sudah menetapkan bagi Imam Ahmad untuk dibunuh kalau dia masih tidak mau menerima pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Kemudian Imam Ahamad dimasukkan penjara guna menunggu kapan hukuman mati yang ditetapkan Al-Makmun untuk dilaksanakan. Sewaktu dalam perjalanan kembali menuju terali besi inilah, Imam Ahmad berdoa agar dirinya tidak dipertemukan lagi dengan Al-Makmun. Belum lama berselang, sewaktu Imam Ahmad masih dalam perjalanan, terdengar berita bahwa Al-Makmun telah meninggal.

Sepeninggal Al-Makmun, pemerintahan dilanjutkan oleh Al-Mu’tashim. Pada masa Al-Mu’tashim ini, Ahmad bin Hambal didera hukuman dengan cambukan yang pelaksanaannya dilakukan dihadapan Al-Mu’tashim. Al-Mu’tashim berkata, “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Dia menjawab, “Al-Qur’an adalah firman Allah yang qadim dan bukan makhluk, Allah berfirman: “Dan jika seseorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya is sempat mendengar firman Allah.” (At-Taubah: 6) Setelah mendengar penjelasan Imam Ahmad ini, Al-Mu’tashim lalu berkata, “Penjarakan dia.”

Al-Mu’tashim lalu mengeluarkan Imam Ahmad ke dalam kelompok para ulama ahli Fiqh dan hakim untuk berdebat. Selama tiga hari berdebat, Imam Ahmad dapat membungkam dan mengalahkan argumen mereka dengan berkata, “Aku adalah orang berilmu yang belum pernah melihat pendapat ini. Oleh karena itu, tunjukkanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dam hadits supaya aku menerima pendapat kalian.” Al-Mu’tashim lalu memerintahkan pada ajudannya, “Datangkan kesini algojo ahli cambuk.”  

Pada deraan cambuk pertama, Imam Ahmad mengucapkan, “Bismillah.” Pada cambukkan kedua dia berkata, “La haula wa la quwwata illa billah.” Pada cambukkan ketiga dia berkata, “Alqur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk.” Pada deraan cambukkan keempat, dia berkata dengan mengutip ayat Al-Qur’an, “Katakanlah, “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.” (At-Taubah: 15) Akibatnya, Al-Mu’tashim memerintahkan agar cambukkan lebih diperkeras lagi. Sebagian ahli cambuk Al-Mu’tashim berkata, “Celakalah kamu wahai Ahmad, sang khalifah berdiri diatas kepalamu.” Sedangkan yang lain berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Ahmad sedang berpuasa, sedangkan paduka berdiri dibawah terik matahari!” 

Pada saat tidak sadarkan diri, badan Imam Ahmad ditaruh diatas tikar milik seseorang. Ketika sudah sadar, maka mereka memberikan bubur kepadanya untuk makan dan minum. Namun Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan memakan dan meminumnya. Aku tidak ingin membatalkan puasaku.”
Setelah Al-Mu’tashim meninggal, naiklah Abu Ja’far Al-Watsiq sebagai khalifah. Walaupun Al-Watsiq tidak mendera Imam Ahmad dengan cambukkkan, akan tetapi dia telah mengasingkan Imam Ahmad. Setelah Al-Watsiq mangkat,  maka naiklah Al-Mutawakkil sebagai khalifah. 

Corak kepemimpinan Al-Mutawakkil ini berbeda dengan para pendahulunya dalam hal akidah. Dia justru mencela pendahulunya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan melarang masyarakat memperdebatkan masalah itu. Akibatnya, berkibarlah bendera akidah Ahlu sunnah dan matilah bid’ah.

Al-Mutawakkil sangat memperhatikan kesejahteraan, memuliakan dan mengagungkan Ahmad bin Hambal. Abdullah bin Hambal mengkisahkan bahwa telah datang utusan Al-Mutawakkil kepada Imam Ahmad. Utusan itu memberitahukan bahwa Al-Mutawakkil mengharap sekali kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya. Lalu, kami keluar bersama dari Baghdad hingga akhirnya menempati rumah yang bagus. Ketika kami datang, Al-Mutawakkil memperhatikan kedatangan kami dari balik satir. Para dayang memberitahukan hal itu kepada kami, lalu Imam Ahmad memasuki rumah dan Al-Mutawakkil berkata pada ibunya, “Wahai ibunda, sekarang alangkah terangnya rumah ini dengan cahaya.” 

Al-Mutawakkil kemudian memberikan baju, uang dirham dan jubah kepada Imam Ahmad. Namun, Imam Ahmad menyikapi pemberian itu justru dengan menangis seraya berkata, “Sejak enam puluh tahun aku dapat selamat dari ini semua. Akan tetapi, dipenghujung usiaku, engkau uji aku dengan ini.” Imam Ahmad tidak menyentuh pemberian itu. Al-Mutawakkil selalu mengirimkan uang tunjangan kepada Ahmad bin Hambal, namun Imam Ahmad tidak mau menerimanya. Akibatnya Al-Mutawakkil berpesan, “Apabila Imam Ahmad tidak mau menerima hadiah uang ini, maka biarlah ia membagikannya kepada orang  yang berhak menerimanya biarpun ia tidak mengambil uang ini sedikitpun.”

Meninggalnya

Al-Marwazi berkata, “ Ahmad bin Hambal mulai sakit pada hari Rabu bulan Rabiul Awal. Dia sakit selama Sembilan hari. Pada saat membolehkan orang-orang yang membesuknya, orang-orang pun berdatangan secara bergelombang. Pada malam Jum’at, sakitnya semakin berat dan akhirnya dia dipanggil mengahadap Penciptanya.” Imam Ahmad meninggal pada bulan Rabiul Awal 241 Hijriyah.

Kata-kata mutiara darinya.

Imam Ahmad berkata, “Segala kebaikan yang bersifat penting, maka lekaslah Anda kerjakan sebelum datang pemisah antara dirimu dan kebaikan tersebut.” Beliau berkata, “Sedikit didunia sedikit hisabnya.” Dia juga berkata, “Orang boleh berbangga terhadapku apabila ia menghabiskan hartanya untuk menanamkan Al-Qur’an dalam dadanya.” Dari Abd Ash-Shamad bin Sulaiman dia berkata, “Aku pernah bermalam dirumah Ahmad bin Hambal sehingga dia menyiapkan air shalat untukku. 

Ketika datang Shubuh dan dia melihat aku tidak menggunakan air tesebut, maka dia berkata, “Bagaimana ulama ahli hadits tidak melakukan wirid di malam hari!” Lalu kujawab, “Aku adalah seorang musafir.” Dia lalu berkata lagi, “Walaupun kamu seorang musafir! Sesungguhnya Masruq berhaji dan tidak tidur kecuali dalam keadaan sujud.”

(60 Biografi Ulama Salaf Syaikh Ahmad Farid, Pustaka Al-Kautsar)


Read More

Wajibnya Menjaga Perkataan

Wajibnya Menjaga Perkataan
Lidah memberikan dampak yang beragam bagi pemiliknya. Semua itu tergantung pada bagaimana sang pemiliknya mengendalikan dan menjaganya. Lidah bisa menjadi liar dan juga bisa menjadi jinak. Oleh karena itu, benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa lidahmu adalah harimaumu. 

Harimau akan menjadi predator yang liar dan buas jika tidak dijinakkan. Ia akan bebas berkeliaran dan berbuat apa saja. Ia akan memangsa apapun ketika lapar dan melukai siapapun yang akan mengancam keberadaannya. Berbeda jika harimau itu bisa dikendalikan. Ia akan jinak dan menjadi hewan pertunjukkan yang dikagumi. Lidah bisa diibaratkan seperti harimau tersebut. Ia akan menjadi sumber malapetaka, kebencian dan fitnah jika tidak dikendalikan. Namun sebaliknya, jika lidah bisa dikendalikan, maka lidah menjadi sumber kebaikan baik berupa ilmu maupun nasehat.

Diam bisa mengendalikan lidah dan menjadikan pikiran lebih konsentrasi. Luqman Al Hakim berkata, “Diam itu hikmah, namun sedikit orang yang melakukannya.” 


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa yang ada diantara dua kakinya (kemaluannya), maka aku menjaminnya surga).”  (HR. Bukhari, At-Tirmidzi dan Ahmad).Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau diam.” (HR . Bukhari dan Muslim).

Abu Darda berkata, “Gunakanlah kedua telingamu daripada mulutmu, karena engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.”

Adapun bencana-bencana yang disebabkan lidah yaitu:

Bencana pertama, perkataan yang sia-sia. Barangsiapa mengetahui waktunya yang merupakan modal utamanya, maka dia akan menggunakannya hanya untuk perbuatan yang bermanfaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Diantara kebaikan Islam sesorang adalah meninggalkan apa yang tidak diperlukannya.” (HR. At-Tirmidzi).

Bencana kedua, melibatkan diri dalam kebathilan, yaitu ikut dalam pembicaraan tentang kedurhakaan seperti ikut serta dalam perkumpulan orang-orang fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya seorang hamba itu benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang menjerumuskannya kedalam neraka yang jaraknya lebih dari jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari, Muslim dll.).

Perbuatan yang mirip dengan hal itu adalah perdebatan, adu mulut dan membuka aib orang lain. Jika masalahnya berkaitan dengan kehidupan dunia, maka dia tidak perlu mendebatnya. Penyakit yang lebih besar dari suka berdebat adalah suka bertengkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang keras lagi suka bertengkar.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud bertengkar disini adalah bertengkar secara bathil atau tanpa pengetahuan. Seseorang yang memiliki hak untuk bertengkar  maka sebaiknya dia berusaha menghindari pertengkaran. Pertengkaran bisa menyebabkan dada terasa panas, amarah dan menimbulkan kedengkian.

Bencana ketiga, bicara keji, suka mencela dan mengumpat. Semua ini tercela dan dilarang karena merupakan sumber keburukan dan kehinaan. Dalam hadits disebutkan, “Jauhilah perkataan keji karena Allah tidak menyukai perkataan keji dan mengolok-olok dengan perkataan keji.” (HR. Ibnu Hibban, Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad). Dalam hadits lain disebutkan, “Orang mukmin itu bukan orang yang suka mencemarkan kehormatan, bukan pula orang yang suka mengutuk, berkata keji dan mengumpat.” (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, Bukhari dll.).

Bencana keempat, bercanda. Bercanda yang ringan atau biasa saja diperbolehkan selagi dia berkata jujur dan benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga suka bercanda, namun dengan perkataan yang benar. Dalam canda Rasulullah ini telah disepakati dua hal:
  1. Berbicara hanya dengan perkataan yang benar.
  2. Jarang dilakukan. Jadi, tidak boleh terlalu sering bercanda. Terlalu banyak bercanda bisa mengurangi karisma dan kewibawaan seseorang bahkan bisa memancing kedengkian.
Bencana kelima, mengejek. Maksud mengejek disini adalah menghina , menyebutkan aib seseorang dan kekurangan seseorang agar bisa membuat orang tertawa. Hal ini bisa dilakukan dengan mengatakannya atau menggambarkannya dengan perbuatan atau cukup dengan isyarat dan kedipan mata. Semua ini dilarang dalam syari’at.

Bencana keenam, membuka rahasia, melanggar janji, berdusta dalam perkataan dan sumpah. Semua ini dilarang kecuali memang ada keringanan untuk berdusta pada hal-hal tertentu seperti berdusta untuk siasat perang, karena perang adalah tipu daya.

Bencana ketujuh, ghibah (menggunjing). Al Qur’an telah menyebutkan larangan ghibah ini dan menyerupakan pelakunya dengan pemakan bangkai. Dalam Hadits disebutkan, “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Barzah Al Aslamy, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya sedangkan iman itu belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang muslim dan janganlah mencari-cari aib mereka karena siapa yang mencari-cari aib saudaranya niscaya Allah akan mencari-cari aib dirinya dan siapa yang Allah mencari-cari aib dirinya niscaya Dia akan membuka kejelekannya sekalipun dia bersembunyi didalam rumahnya.” (HR. Abu Dawud, At Tirmidzy, Ahmad dll.).

Makna ghibah adalah engkau menyebut-nyebut orang lain yang tidak ada disisimu dengan suatu perkataan yang membuatnya tidak suka jika mendengarnya baik menyangkut kekurangan pada tubuhnya, nasab, akhlak atau pakaiannya. Dalil yang menguatkan tentang hal ini adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ghibah, maka beliau menjawab, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana pendapat engkau jika pada diri saudaraku itu memang ada yang seperti kataku wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika pada diri saudaramu itu ada yang seperti katamu, berarti engkau telah meng-ghibahnya dan jika pada dirinya tidak ada seperti yang engkau katakan, berarti engkau telah mendustakannya.” (HR. Muslim dan At Tirmidzi).

Apapun yang dimaksudkan untuk mencela, maka itu termasuk dalam ghibah. Orang yang mendengarkan ghibah juga terlibat dalam perkara ghibah ini. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya, “Barangsiapa ada seorang mukmin yang dihinakan disisinya dan dia sanggup membelanya (namun tidak melakukannya), maka Allah Azza wa Jalla menghinakannya dihadapan banyak orang.” (HR. Ahmad).

Suatu kali Umar bin Utbah melihat pembantunya sedang bercengkrama dengan orang lain yang sedang mengggunjing orang lain. Umar berkata, “Celakalah kamu! Jaga telingamu dan jangan dengarkan perkataan kotor. Jaga juga dirimu untuk tidak berkata yang kotor karena orang yang mendengar merupakan sekutu orang yang berbicara.”

Adapun tebusan ghibah disesuaikan dengan dua pelanggaran yang dilakukan orang yang meng-ghibah, yaitu:
  1. Pelanggaran terhadap hak Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang-Nya. Tebusannya adalah bertaubat dan menyesali perbuatannya.
  2. Pelanggaran terhadap kehormatan makhluk. Jika ghibah sudah didengar oleh orang yang di-ghibah-nya, maka dia harus menemuinya dengan meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan dihadapan orang tersebut.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda yang artinya, “Siapa yang melakukan suatu ke-zhalim-an terhadap saudaranya, harta atau kehormatannya maka hendaklah dia menemuinya dan meminta maaf kepadanya dari dosa ghibah itu sebelum dia dihukum sementara dia tidak memiliki dinar maupun dirham. Jika dia memiliki kebaikan, maka kebaikan itu akan diambil lalu diberikan kepada saudaranya itu. Jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan kepadanya.” (HR. Bukhari).

Jika ghibah belum didengar oleh orang yang di ghibah maka permintaan maaf cukup dengan memohonkan ampunan bagi orang tersebut. Mujahid berkata, “Tebusan tindakanmu yang memakan daging saudaramu adalah dengan cara memuji dirinya dan mendoakan kebaikan baginya. Begitu pula jika orang tersebut sudah meninggal dunia.”

Bencana kedelapan, mengadu domba. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bencana kesembilan, kata-kata pujian. Hal inipun bisa menyebabkan bencana, yaitu berkaitan dengan:
  1. Orang yang memuji. Dia terlalu berlebihan dalam memuji sehingga berakhir dengan kedustaan, bahkan bisa jadi dia memuji seseorang yang sebenarnya lebih layak untuk dicela.
  2. Kaitannya dengan orang yang dipuji. Pujian ini bisa menyebabkan dirinya takabur dan ujub. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda ketika mendengar seseorang yang memuji orang lain, “Celakalah engkau! Karena engkau telah memenggal leher rekanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika orang yang dipuji tidak menyebabkan sikapnya menjadi takabur dan ujub, maka boleh saja dilakukan. Rasulullah juga pernah memuji Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya.
Demikianlah bahaya yang ditimbulkan oleh lidah manusia. Telah banyak malapetaka yang diakibatkan oleh lidah liar yang tak bertulang ini. Bahaya yang disebutkan ini hanyalah sebagian kecil dari bahaya lidah. Kita pun harus bijaksana dalam menggunakan lidah ini sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat, yaitu kapan lidah ini harus diam dan kapan lidah ini harus berbicara. Diam adalah emas, namun dalam banyak hal, berbicara lebih berharga daripada emas.

Sumber: 
Minhajul Qashidin, Jalan Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk. Ibnu Qudamah: Pustaka Al Kautsar.


Read More

Biografi Imam Ath-Thabari

Biografi Imam Ath-Thabari
Nama Imam Ath-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Nama kunyah atau panggilannya adalah Abu Ja’far. Kelahirannya berdasarkan pendapat yang kuat adalah pada tahun 224 Hijriyah. Tempat kelahirannya di Amal, yaitu daerah yang subur di daerah Thabaristan.

Semangatnya dalam Mencari Ilmu

Abu Ja’far mengisahkan tentang dirinya, “Aku telah hafal Al-Qur’an pada saat usiaku tujuh tahun, aku telah shalat bersama manusia diusia delapan tahun dan menulis hadits diusia sembilan tahun. 

Dahulu ayahku dalam tidurnya melihat Rasulullah dan diriku membawa sekeranjang batu sedang bersama beliau. Dalam tidurnya, ayahku seolah melihat diriku sedang melempar batu dihadapan Rasulullah. Lalu ahli tafsir mimpi berkata kepada ayahku, ‘Sesungguhnya anak ini (Abu Ja’far Ath Tahabari), kelak jika dewasa akan memelihara syari’atnya.’ Dari mimpi itulah, akhirnya ayahku membiayai diriku mencari ilmu. Padahal pada waktu itu aku baru kanak-kanak yang masih kecil.”

Doktor Muhammad Az Zuhaili berkata, “Berdasar berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja’far Ath-Thabari telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah payah menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabisakan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tidak tinggal menetap kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun. Dalam masa ini, Abu Ja’far Ath-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan untuk menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin, dan membeli kitab. Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Abu Ja’far Ath-Thabari bertumpu pada harta milik ayahnya dan harta warisan milik ayahnya. Tatkala Abu Ja’far sudah kenyang menjalani hidup dalam dunia perjalanan mencari ilmu, akhirnya dia pun tinggal menetap.


Tatkala hidupnya terputus dari dari kegiatan musafir untuk menimba ilmu, maka sisa usianya difokuskan untuk menulis, berkarya dan mengajar ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Ilmu telah menyibukkannya dan memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak akan pernah dirasakan kecuali bagi yang telah menjalaninya. Ketika seseorang telah tenggelam dalam lautan ilmu dimasa mudanya, maka menikah sering terabaikan. Ketika usia telah mencapai antara 35-40 tahun dan tersibukkan dalam majelis ilmu, maka keinginan menikah menjadi semakin hilang. Dilahapnya kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar serta waktu belajar dan berkarya juga lebih optimal. “

Akhlaknya yang Mulia

Apabila Abu Ja’far Ath-Thabari diberi hadiah, maka jika dia dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik, hadiah itu akan diterima. Namun apabila dia tidak mampu, maka hadiah itu akan ditolak dengan ramah disertai permintaan maaf kepada pemberi hadiah. Abu Haija’ Ibnu Hamdan pernah memberikan hadiah kepada Abu Ja’far Ath-Thabari tiga ribu dinar. Setelah melihat hadiah tersebut, Abu Ja’far Ath-Thabari terkagum-kagum dan berkata, “Aku tidak bisa menerima hadiah yang aku tidak bisa membalasnya dengan yang lebih baik lagi. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membalas hadiah sebanyak ini?”

Abu Ja’far Ath-Thabari selalu menjauhi sikap dan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh ulama. Langkah demikian itu berlangsung sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Pernah suatu ketika Abu Ja’far Ath-Thabari berdebat dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri mengenai suatu permasalahan. Ditengah perdebatan, Abu Ja’far Ath-Thabari berhenti dan tidak meneruskan perkataannya, sehingga para temannya menjadi bertanya-tanya. Dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri, dengan spontan dia berkata-kata pedas dan menyakitkan yang ditujukan pada Abu Ja’far Ath-Thabari.

Mendengar perkataan yang demikian itu, Abu Ja’far Ath-Thabari tidak membalasnya sedikit pun dan tidak pula terpancing memberikan jawabannya. Dengan segera ia bergegas meninggalkan tempat itu dan menulis masalah perdebatannya itu dalam sebuah kitab.

Kemampuan Hafalan dan Kecedasannya

Diantara hal yang dapat menunjukkan kepandaian dan kecerdasan Imam Ath-Thabari adalah kisah Imam Ath-Thabari tentang dirinya sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau sajak) dalam tempo satu malam. Kisahnya adalah sebagai berikut: Imam Ath-Thabari berkata, “Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya. Pada suatu hari, datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu dari Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang Arudh. Akhirnya aku katakan kepadanya, ‘Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah besok dan temui aku.’ Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari Kitab Arudh tersebut dan pagi harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh.”

Kezuhudan dan Kewara’annya

Al-Farghani berkata, “Muhammad bin Jarir Ath-Thabari tidak takut celaan dan cercaan manusia, biarpun itu terasa menyakitkan. Cercaan itu muncul dari orang-orang bodoh, hasad, dan yang mengingkarinya. Adapun manusia berilmu dan ahli menjalankan agama, maka mereka tidak akan mengingkari kapasitas dan kredibilitas Muhammad bin Jarir.

Mereka juga mengakui kezuhudannya dari dunia dan qana’ah dengan merasa cukup menerima sepetak tanah kecil peninggalan ayahnya di Thabaristan. Perdana menteri Al-Kharqani bertaklid kepadanya, lalu ia mengirimkan uang dalam jumlah yang besar kepadanya. Akan tetapi, dia tetap menolak pemberian tersebut. Ketika Ibnu Jarir At-Thabari ditawarkan kedudukan qadhi (hakim) dengan jabatan wilayah al-mazhalim, dia pun menolaknya.

Akibat penolakan ini, teman-teman Ibnu Jarir mencelanya. Mereka berkata, ‘Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu laksanakan.’

Pada dasarnya, mereka ingin sekali memperoleh jabatan tersebut. Namun dengan perkataan mereka itu, akhirnya Ibnu Jarir membentak mereka seraya berkata, ‘Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang jabatan tersebut.’”

Guru dan Muridnya

Para guru Ibnu Jarir Ath-Thabari sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi yaitu:
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib, Ismail bin Musa As-Sanadi, Ishaq bin Abi Israel, Muhammad bin Abi Ma’syar, Muhammad bin Hamid Ar-Razi, Ahmad bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin Abd Al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin Al-Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin Ash-Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-Shaffar, dll.

Sedangkan muridnya yaitu:
Abu Syuaib bin Al-Hasan Al-Harrani, Abul Qasim Ath-Thabarani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar Asy-Syafi’I, Abu Ahmad Ibnu Adi, Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi, Abu Muhammad Ibnu Zaid Al-Qadhi, Ahmad bin Al-Qasim Al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far bin Ahmad bin Ali Al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah Al-Hudhaibi, Abu Al-Mufadhadhal Muhammad bin Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said, dll.

Karya-Karyanya

Jami’Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan sebutan At-tafsir Ath-Thabari
Tarikh Umam wa Al-Muluk yang lebih dikenal dengan Tarikh Ath-Thabari
Dzail Al-Mudzil
Ikhtilaf ‘Ulama Al-Amshar fi Ahkam Syara’I Al-Islam yang lebih dikenal dengan Ikhtilaf Al-Fuqaha
Lathif Al-Qaul fi Ahkam Syara’I Al-Islam, yaitu fiqih Al-Jariri
Adab Al-Qudhah
Al-Musnad Al-Mujarrad
Al-Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an
Mukhtashar Manasik Al-Hajj
Al-Mujiz fi Al-Ushul
Musnad Ibnu ‘Abbas, dan masih banyak lainnya.

Meninggalnya

Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir Ath-Thabari meninggal pada waktu sore, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 Hijriyah. Beliau dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, Baghdad.”

Sumber:
Biografi 60 Ulama Salaf. Syaikh Ahmad Farid: Pustaka Al-Kautsar


Read More