Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Harits bin
Umair untuk menyampaikan surat kepada Gubernur Basrah kala itu. Di tengah
perjalanan, Harits dicegat oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghasani, Gubernur Balqa di
Syam yang masih di bawah pemerintahan Romawi. Harits diringkus dan dibawa ke
hadapan Heraklius. Di depan pemimpin Romawi itu, leher Harits dipenggal.
Membunuh seorang utusan, sejak dulu sampai sekarang,
merupakan kejahatan paling keji. Tindakan itu sama dengan proklamasi perang.
Begitu mendengar hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat
terpukul. Beliau segera mempersiapkan pasukan berkekuatan tiga ribu prajurit.
Sejarah mencatat, pasukan ini merupakan angkatan perang
paling besar yang pernah beliau kirim.
Untuk memimpin perang ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Dihadapan pasukannya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Zaid terbunuh,
penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, penggantinya adalah Abdullah
bin Rawahah.” (HR. Bukhari)
Pasukan besar itu pun bergerak ke arah utara. Di wilayah Mu’an
yang merupakan bagian dari kekuasaan Syam yang berbatasan dengan Hijaz, pasukan
itu istirahat. Saat itu mereka mendengar pasukan musuh sudah bergerak dan telah
berada di Ma’ab dengan kekuatan dua ratus ribu orang. Kaum muslimin belum
pernah membayangkan akan berhadapan dengan pasukan sebesar itu.
Ditambah lagi, mereka akan berperang di wilayah musuh. Kaum
muslimin bingung. Dua malam mereka berada di tempat itu. Mereka sempat ragu dan
berniat minta tambahan pasukan dari Madinah.
Dalam kondisi demikian, Abdullah bin Rawahah melantunkan
syair kepahlawanannya. Di pengujung bait syairnya, dia berseru lantang, “Marilah
kita maju. Tak ada pilihan kecuali satu di antara dua kebaikan, menang atau
syahid.”
Begitu mendengar seruan itu, kaum muslimin maju ke medan
perang. Mereka bergerak menyongsong musuh sampai tiba di sebuah daerah yang
diabadikan sejarah, Mu’tah. Disanalah kedua pasukan bertemu. Di perkampungan
yang termasuk wilayah Syam, kedua pasukan bertempur habis-habisan.
Di awal pertempuran, Zaid bin Haritsah gugur. Pucuk pimpinan
diambil alih Ja’far bin Abi Thalib. Ja’far pun syahid, kemudian digantikan
Abdullah bin Rawahah.
Ketika Abdullah bin Rawahah syahid, salah seorang dari Bani
Ajlan bernama Tsabit bin Arqam maju mengambil bendera seraya berseru, “Wahai
kaum muslimin, pilihlah seorang panglima di antara kalian!” Akhirnya kaum
muslimin sepakat mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima perang.
Pasukan kaum muslimin pun dipimpin Khalid bin Walid. Dengan
kepiawaiannya, Khalid mengatur taktik mundur sedemikian rupa. Tak banyak
jenderal hebat dalam sejarah yang bisa melakukan hal ini. Mereka kembali ke
Madinah dengan selamat. Selamat dari pembantaian Romawi yang jumlahnya jauh
lebih besar dari kaum muslimin.
Para sahabat telah memberikan keteladanan yang begitu mulia.
Setelah wafatnya tiga panglima perang, secara aklamasi mereka sepakat
mengangkat Khalid bin Walid sebagai pemimpin tertinggi dalam perang Mu’tah.
Di antara tiga ribu pasukan itu, tidak ada yang protes.
Padahal keislaman Khalid bin Walid masih seumur jagung.
Penerimaan kepemimpinan Khalid pada perang Mu’tah ini bukan
hanya dari kaum muslimin yang ikut berperang. Para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak ada yang protes. Kalaupun ada yang
menggerutu, bukan lantaran terpilihnya Khalid sebagai panglima, tapi karena
tindakannya membawa ‘kabur’ umat Islam dari medan perang. Khalid dianggap
mengajak tentaranya melarikan diri dari peperangan. Padahal keputusan Khalid
kala itu amat tepat. Ia tidak ingin tiga ribu tentaranya dibantai habis oleh
pasukan Romawi. Keberhasilan menyelamatkan kaum muslimin itu tergolong
kemenangan yang dicatat sejarah.
Kaum muslimin patut merenungkan tentang bagaimana para
sahabat nabi menyikapi jabatan. Bagi mereka, jabatan bukan anugerah tapi amanah
yang harus ditunaikan. Karena itu, ketika peluang untuk mendapatkan amanah itu
ditawarkan, mereka justru menolak. Bukan malah sebaliknya, memburu jabatan.
Ironisnya, saat kesempatan menjadi pemimpin terbuka lebar
lewat sistem pemilihan langsung, justru hal itu menjadi peluang berebut kekuasaan.
Segala cara ditempuh. Miliaran uang digelontorkan agar dirinya terpilih.
Rakyat pun dipaksa memilih orang yang paling banyak
memberikan uang, bukan orang yang mampu memimpin. Mereka tidak tahu, para calon
pemimpin itu sedang berbisnis. Persis seperti seorang pedagang yang
mengeluarkan modal awal untuk mendapatkan keuntungan berlimpah setelahnya.
Sabili Edisi 4 Tahun 01 November 2014 Hal. 68-70