Seberapa Pentingkah Jabatan?

Seberapa Pentingkah Jabatan?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Harits bin Umair untuk menyampaikan surat kepada Gubernur Basrah kala itu. Di tengah perjalanan, Harits dicegat oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghasani, Gubernur Balqa di Syam yang masih di bawah pemerintahan Romawi. Harits diringkus dan dibawa ke hadapan Heraklius. Di depan pemimpin Romawi itu, leher Harits dipenggal.

Membunuh seorang utusan, sejak dulu sampai sekarang, merupakan kejahatan paling keji. Tindakan itu sama dengan proklamasi perang. Begitu mendengar hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat terpukul. Beliau segera mempersiapkan pasukan berkekuatan tiga ribu prajurit.
Sejarah mencatat, pasukan ini merupakan angkatan perang paling besar yang pernah beliau kirim.
Untuk memimpin perang ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai panglima. Dihadapan pasukannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika Zaid terbunuh, penggantinya adalah Ja’far. Jika Ja’far terbunuh, penggantinya adalah Abdullah bin Rawahah.” (HR. Bukhari)

Pasukan besar itu pun bergerak ke arah utara. Di wilayah Mu’an yang merupakan bagian dari kekuasaan Syam yang berbatasan dengan Hijaz, pasukan itu istirahat. Saat itu mereka mendengar pasukan musuh sudah bergerak dan telah berada di Ma’ab dengan kekuatan dua ratus ribu orang. Kaum muslimin belum pernah membayangkan akan berhadapan dengan pasukan sebesar itu.
Ditambah lagi, mereka akan berperang di wilayah musuh. Kaum muslimin bingung. Dua malam mereka berada di tempat itu. Mereka sempat ragu dan berniat minta tambahan pasukan dari Madinah.
Dalam kondisi demikian, Abdullah bin Rawahah melantunkan syair kepahlawanannya. Di pengujung bait syairnya, dia berseru lantang, “Marilah kita maju. Tak ada pilihan kecuali satu di antara dua kebaikan, menang atau syahid.”

Begitu mendengar seruan itu, kaum muslimin maju ke medan perang. Mereka bergerak menyongsong musuh sampai tiba di sebuah daerah yang diabadikan sejarah, Mu’tah. Disanalah kedua pasukan bertemu. Di perkampungan yang termasuk wilayah Syam, kedua pasukan bertempur habis-habisan.
Di awal pertempuran, Zaid bin Haritsah gugur. Pucuk pimpinan diambil alih Ja’far bin Abi Thalib. Ja’far pun syahid, kemudian digantikan Abdullah bin Rawahah.

Ketika Abdullah bin Rawahah syahid, salah seorang dari Bani Ajlan bernama Tsabit bin Arqam maju mengambil bendera seraya berseru, “Wahai kaum muslimin, pilihlah seorang panglima di antara kalian!” Akhirnya kaum muslimin sepakat mengangkat Khalid bin Walid sebagai panglima perang.
Pasukan kaum muslimin pun dipimpin Khalid bin Walid. Dengan kepiawaiannya, Khalid mengatur taktik mundur sedemikian rupa. Tak banyak jenderal hebat dalam sejarah yang bisa melakukan hal ini. Mereka kembali ke Madinah dengan selamat. Selamat dari pembantaian Romawi yang jumlahnya jauh lebih besar dari kaum muslimin.

Para sahabat telah memberikan keteladanan yang begitu mulia. Setelah wafatnya tiga panglima perang, secara aklamasi mereka sepakat mengangkat Khalid bin Walid sebagai pemimpin tertinggi dalam perang Mu’tah.

Di antara tiga ribu pasukan itu, tidak ada yang protes. Padahal keislaman Khalid bin Walid masih seumur jagung.

Penerimaan kepemimpinan Khalid pada perang Mu’tah ini bukan hanya dari kaum muslimin yang ikut berperang. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun tidak ada yang protes. Kalaupun ada yang menggerutu, bukan lantaran terpilihnya Khalid sebagai panglima, tapi karena tindakannya membawa ‘kabur’ umat Islam dari medan perang. Khalid dianggap mengajak tentaranya melarikan diri dari peperangan. Padahal keputusan Khalid kala itu amat tepat. Ia tidak ingin tiga ribu tentaranya dibantai habis oleh pasukan Romawi. Keberhasilan menyelamatkan kaum muslimin itu tergolong kemenangan yang dicatat sejarah.

Kaum muslimin patut merenungkan tentang bagaimana para sahabat nabi menyikapi jabatan. Bagi mereka, jabatan bukan anugerah tapi amanah yang harus ditunaikan. Karena itu, ketika peluang untuk mendapatkan amanah itu ditawarkan, mereka justru menolak. Bukan malah sebaliknya, memburu jabatan.

Ironisnya, saat kesempatan menjadi pemimpin terbuka lebar lewat sistem pemilihan langsung, justru hal itu menjadi peluang berebut kekuasaan. Segala cara ditempuh. Miliaran uang digelontorkan agar dirinya terpilih.

Rakyat pun dipaksa memilih orang yang paling banyak memberikan uang, bukan orang yang mampu memimpin. Mereka tidak tahu, para calon pemimpin itu sedang berbisnis. Persis seperti seorang pedagang yang mengeluarkan modal awal untuk mendapatkan keuntungan berlimpah setelahnya.

Sabili Edisi 4 Tahun 01 November 2014 Hal. 68-70


Read More

Hati-Hati Dengan Istidraj!

Hati-Hati Dengan Istidraj!
Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa. (QS. Al-An’am: 44)

Ayat ini dijelaskan oleh Prof. Wahbah Az-Zuhaily, ketika mereka berpaling dan melupakan apa yang telah diperingatkan oleh nabi-nabi mereka, baik ancaman maupun kabar gembira, dan mereka terus-menerus berada dalam kekufuran dan kedurhakaan kepada Allah, maka Allah akan bukakan untuk mereka pintu-pintu rezeki, kesejahteraan dalam hidup, kesehatan dan rasa aman sesuai yang mereka inginkan. Inilah yang disebut dengan istidraj. Di saat mereka bersenang-senang dengan apa yang diberikan kepada mereka, mulai dari bersenang-senang dengan harta benda, anak-anak dan rezeki yang melimpah, maka secara tiba-tiba Allah pun menurunkan siksa. Itu membuat mereka merasa putus asa dari mendapatkan keselamatan dan dari hal-hal kebaikan lainnya.


Dari penjelasan ayat di atas, kita bisa memahami bahwa tidak selamanya nikmat itu bukti kecintaan Allah kepada kita, tapi kadang merupakan istidraj. Lalu, apa itu istidraj?

Ketika seseorang selalu mendapatkan nikmat dari Allah, padahal dia suka melakukan maksiat, itulah istidraj. Dari luar seakan-akan mendapatkan nikmat, padahal itu sebenarnya merupakan hukuman dari Allah atas kemaksiatannya hingga jika telah tiba waktunya, giliran murka Allah yang akan dia terima.

Karena itu, cukuplah ayat ini sebagai bahan introspeksi, apakah nikmat yang selama ini kita dapatkan murni sebuah nikmat ataukah istidraj dari Allah. Kalau nikmat itu disertai dengan amalan-amalan baik, mungkin itu nikmat itu murni sebuah nikmat. Tapi jika nikmat itu disertai dengan seringnya berbuat maksiat kepada Allah, maka bisa jadi itu istidraj.

Sering kita mengeluh kepada Allah atas nasib kita di dunia ini. Nikmat yang diberikan kepada kita serasa masih kurang, padahal kita telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan orang yang selalu berada dalam kemaksiatan justru mendapatkan nikmat yang lebih besar daripada kita. Dalam kondisi seperti ini jika kita melihat dari segi luar saja, mungkin kita akan beranggapan bahwa Allah itu tidak adil. Tapi jika kita mau melihat lebih dalam lagi, kita akan memahami bahwa itu merupakan istidraj dari Allah untuk mereka yang selalu berada dalam kemaksiatan.

Adapun orang-orang yang bertakwa kepada Allah tapi masih saja berada dalam kondisi kekurangan, itu merupakan bentuk ujian dari Allah. Yang ujian tersebut berfungsi untuk meninggikan derajat bagi orang-orang yang berhasil melewatinya.

Perlu kita pahami juga bahwa bentuk kecintaan Allah kepada kita tidaklah diukur dari besar kecilnya nikmat harta yang diberikan. Melainkan harus kita lihat dari nikmat hidayah yang diberikan Allah kepada kita, yaitu hidayah untuk mau melaksanakan perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Karena jika kecintaan Allah itu kita ukur dari segi materi semata, maka rusaklah agama ini. Kita semua akan berlomba-lomba mencari harta yang sifatnya duniawi dan melupakan ibadah kita kepada Allah.

Dari uraian di atas, cobalah kita renungkan tentang apa yang terjadi di sekitar kita. Banyak sekali orang yang diberikan nikmat kedudukan atau jabatan, tapi itu merupakan istidraj dari Allah.
Kita melihat para koruptor yang kesemuanya orang-orang yang memiliki harta dan kedudukan. Tapi meskipun demikian, mereka tetap mencuri harta rakyat dengan wasilah kedudukannya tersebut. Dari sini mungkin bisa kategorikan bahwa itu merupakan istidraj dari Allah.

Allah sengaja biarkan dia tetap dalam jabatannya itu agar dia terus-menerus dalam kemaksiatannya. Jika dia sudah terlena dengan kesenangannya itu maka secara tiba-tiba akan datang hukuman dari Allah.

Terkadang juga kita jumpai sekelompok orang yang tidak menyukai Islam, tapi mereka dapat kemudahan jalan untuk memusuhi Islam, baik kemudahan dalam menyebarkan fitnah maupun kemudahan dalam menguasai kepemimpinan. Ini juga merupakan istidraj dari Allah sebagai bentuk kemurkaan Allah terhadap mereka yang selalu memusuhi Islam. Tapi sebanyak apapun juga musuh, Islam pada akhirnya akan bertahan.

Inilah yang perlu kita pahami agar bisa membedakan antara nikmat dengan istidraj.

Sumber:

Sabili Edisi 4 Tahun 01 November 2014 Hal. 8-9
Read More