Umur yang semakin bertambah menuntut kita untuk memikul
tanggung jawab yang lebih berat. Pernikahan adalah salah satu tanggung jawab
yang mesti dipikul ketika usia beranjak dewasa. Namun menemukan jodoh yang cocok
bukanlah perkara yang mudah. Apalagi pernikahan dianggap suatu yang sakral yang
diharapkan hanya sekali, namun untuk selamanya.
Pernikahan sendiri menjadi sebuah prestise dalam
pandangan umum masyarakat. Sering kita temui pasangan yang memutuskan untuk
menikah di usia yang masih belia. Seseorang yang telah menikah dianggap bukan
lagi sembarangan orang karena telah berani memegang amanah yang tak ringan. Oleh
karenanya menjadi masalah besar ketika usia kian menua, namun pernikahan selalu
ditunda. Para jombloer tua seringkali di-bully oleh masyarakat karena
tidak kunjung laku-laku.
Seiring zaman dan gaya hidup yang kian modern, sebagian
masyarakat pun memiliki paradigma yang mulai berubah tentang arti sebuah
pernikahan. Pandangan materialisme yang begitu dominan pada masyarakat modern
membuat orang-orang yang ingin menikah harus dituntut memiliki kemampuan
ekonomi yang mapan. Mereka akhirnya lebih memilih untuk melajang demi mengejar
kemapanan ekonomi dan karir. Pernikahan mulai dianggap sebagai penghalang
kebebasan bekerja yang akan mematikan peluang karir.
Bagi masyarakat Barat, pernikahan merupakan permasalahan
privasi. Orang lain tidak peduli dengan kondisi privasi seseorang, selama ia
tidak membuat kegaduhan. Namun berbeda di Indonesia, setiap orang merasa berhak
tahu dan ingin ikut campur dalam permasalahan privasi orang lain, termasuk
dalam masalah pernikahan. Para jombloer kini mulai berusaha mendobrak pandangan
masyarakat tentang pernikahan. Jomblo bukan lagi aib yang mengundang rasa malu,
tapi sudah menjadi bagian dari pilihan jalan hidup. Percuma saja menghina
seorang jomblo, jika kasus perceraian justru meningkat pesat. Ketika seorang
jomblo memutuskan untuk menikah, maka pernikahan bukan lagi sekedar status,
namun pilihan hidup yang harus dipertahankan dan diperjuangkan kelanggengannya
hingga akhir hayat.
Bagi sebagian jombloer, memilih pasangan yang akan menjadi
partner hidup merupakan pilihan berat dan terkait idealisme. Partner hidup
dicari dengan seksama, hati-hati dan harus memenuhi beberapa kriteria. Seorang
partner hidup haruslah memiliki kesamaan visi dan misi. Ibarat perahu, maka
pernikahan harus memiliki tujuan dalam berlayar. Jika tidak memiliki kesamaan
visi dan misi, maka pernikahan akan guncang, terombang-ambing ditengah samudera
kehidupan, tak tentu arah tujuan, dan akhirnya akan karam. Bukan berarti
kesamaan visi dan misi akan menjadikan pernikahan berlayar tanpa gangguan,
namun setidaknya kesamaan itu menjadikan jelas, dimana pernikahan ini kelak
akan labuh dan sandar.
Oleh karenanya, menjadi jomblo yang disebabkan pilihan logis,
bukan lagi menjadi aib dan cela, justru itu adalah pilihan yang mampu
dipertanggungjawabkan. Pernikahan harusnya tidak lagi menjadi monopoli
perasaan, namun harus ada peran nalar yang bisa menjelaskan secara logis
mengapa pernikahan itu harus terjadi. Dengan demikian, apabila kelak terjadi
konflik ditengah pernikahan, maka permasalahan tersebut bisa diselesaikan
dengan akal yang jernih, bukan sekedar menuruti nafsu perasaan. Betapa banyak
perceraian terjadi karena mengikuti perasaan emosi yang meledak-ledak,
sementara akal jernih seakan dikesampingkan.
Itulah jalan hidup seorang jombloer yang mempersiapkan diri
sebagai pribadi yang berkualitas dan unggul. Mereka menyadari bahwa keberadaan
dirinya kelak akan mempengaruhi kehormatan pendamping dan anak-keturunannya. Apabila
mereka tidak menjadi apa-apa, maka masyarakat pun akan tetap memandang rumah
tangganya bukan siapa-siapa. Ketika dianggap bukan siapa-siapa, tetap saja
masyarakat akan melecehkan status dan keberadaannya. Kehormatan memang tidak
menjadi tujuan, karena jombloer sudah terbiasa dicaci dan dimaki oleh orang
sekitarnya. Namun apakah pendamping atau anak-keturunannya sanggup menelan pil
pahit itu? Jangan ikutkan orang-orang tercinta dalam lingkar penderitaan hanya
untuk mengejar status kehormatan yang sifatnya relatif. Lebih baik menempa diri
dengan dihina, serta terus bekerja keras untuk mempersiapkan kehidupan yang
lebih terhormat untuk orang-orang tercinta.
Pic: http://1.bp.blogspot.com/