Biografi Umar Bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul’Aziz merupakan tokoh pembaharu pertama bagi generasi muslim pada periode seratus tahun pertama. Dia yang mengubah wajah dunia hanya dalam kurun waktu yang singkat, yaitu dua tahun lebih lima bulan. Umar bin Abdul’Aziz telah memuliakan agama Allah Ta’ala, meninggikan menara sunnah, manghancurkan segala bentuk bid’ah sampai keakar-akarnya sehingga ahli bid’ah harus menerima kekalahan dan kehinaan mereka, serta tidak berani memperlihatkan bid’ah yang mereka lakukan dengan terang-terangan. Dia merupakan sosok pemimpin yang berusaha menegakkan keadilan. Biografinya perlu kita tela’ah lebih dalam agar kita bisa mempelajari keteladanannya sebagai seorang pemimpin.

Nama dan Kelahiran 

Namanya yaitu Umar bin Abdul’Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abi Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdisyams bin Abdimanaf bin Qushay bin Kilab. Umar bin Abdul’Aziz lahir di Hilwan, nama sebuah desa di Mesir. Ayahnya seorang pemimpin daerah disana tahun 61 atau 63 Hijriyah. Ibunya bernama Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu.


Awal Mula keaktifannya Menuntut Ilmu dan Memegang Jabatan Kekhalifahan

Orang tuanya ingin melihatnya keluar dari daerah itu guna menuntut ilmu, sehingga ia berkata,  “Wahai ayah, mungkin lebih bermanfaat bagiku kalau ayah membawaku pergi ke kota Madinah. Karena aku disana bisa belajar banyak dengan para ahli fiqhnya dan menyelami perilaku mereka.” Kemudian ayahnya membawanya ke Madinah hingga akhirnya Umar bin Abdul’Aziz terkenal di Madinah dengan kecerdasan dan kedalaman ilmunya walaupun dia masih sangat muda. Dia (perawi) berkata, “Ketika ayahnya meninggal, Khalifah Abdul Malik bin Marwan mengutus pengawalnya kepada Umar bin Abdul’Aziz untuk dibawa keistana dan diasuhnya bersama-sama dengan puteranya yang lain.

Dia memang terlihat menonjol daripada mereka putera-puteri khalifah. Kemudian khalifah menikahkannya dengan puterinya, Fatimah.” Ketika Al-Walid menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul’aziz diangkat menjadi walikota Madinah. Dia menjabat walikota Madinah dari tahun 86 HIjriyah hingga tahun 93 HIjriyah, akan tetapi kemudian dia diturunkan dari tahta sehingga dia lalu pergi ke Syam. Kemudian, Ketika Al-Walid berniat mengulingkan saudaranya Sulaiman dari haknya memegang pemerintahan selanjutnya (setelah Al-Walid) dan menggantikannya dengan puteranya; 

Dia memaksa para pemimpin daerah dan walikota ataupun para gubernur untuk menyetujui rencanya itu. Namun Umar bin Abdul’Aziz tidak menyetujuinya. Dia berkata, : Sulaiman adalah orang yang berhak mendapat ba’iat dalam pundak kami.” Dia bersikeras dengan pendapatnya itu sehingga membuat Al-Walid berang dan membenamkan wajahnya kedalam tanah berlumpur. Ketika Sulaiman dan para pendukungnya mengetahui sejarah dan peristiwa kegigihan Umar bin Abdu’Aziz yang mempertahankan hak Sulaiman, dia mengamanatkan kepada seluruh warganya untuk mengangkatnya sebagai khalifah.

Dari Raja’ bin Haiwah, dia berkata, “Ketika Jum’at tiba, Sulaiman memakai pakaiannya dari sutera dan bercermin sambil berkata, “Demi Allah, aku adalah seorang raja yang masih muda.” Lalu dia berangkat ke masjid untuk shalat berjama’ah dengan penduduk. Ketika dia kembali, dia merasakan tubuhnya kurang sehat. Ketika sakitnya semakin bertambah berat, dia menuliskan sepucuk surat untuk mengangkat puteranya Ayyub, sebagai putera mahkota yang pada saat itu masih seorang bocah yang belum akil baligh, sehingga aku lalu berkata, “Apa yang Anda lakukan, wahai Amirul Mukminin? Sesungguhnya yang bisa menjada kematian seorang kahalifah tetap tenang didalam kuburnya adalah mengangkat seorang khalifah yang saleh.” Sang khalifah berkata, “Surat ini memang membingungkan, aku kira ini yang terbaik, akan tetapi aku belum bisa mengesahkannya.” 

Surat itu disimpan khalifah selama dua atau tiga hari lalu dibakarnya. Beberapa saat kemudian, dia memanggilku (perawi) dan berkata, “Kalau Dawud bin Sulaiman, bagaimana pendapatmu?”Aku menjawab, “Dia sadang berada di Konstantinopel, sedangkan Anda tidak tahu apakah dia masih hidup ataukah sudah meninggal dunia,” Dia berkata, “Bagaimana pendapatmu, siapa yang layak?” Aku berkata, “Terserah Anda Wahai Amirul Mukminin, aku memohon Anda untuk berpikir kira-kira siapa yang pantas.”

Sang khalifah kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu jika Umar bin Abdul ‘Aziz?” Aku berkata, “Yang aku tahu dia adalah orang yang mulia, terhormat dan memang dialah orang yang terbaik dan terpilih dikalangan kaum muslimin.” Khalifah berkata, “Ya, dia. Demi Allah, aku yakin itu, kalaulah aku jadi mengangkatnya dan tidak mengangkat salah seorang keturunan dari khalifah Abdul Malik bin Marwan, niscaya akan terjadi fitnah dikemudian hari-Yazid bin Abdul Malik saat itu sedang tidak berada di istana selama satu musim.” Khalifah lalu berkata, “Angkatlah dia (Yazid) setelah Khalaifah Umar bin Abdul ‘Aziz nanti, jika dia orang yang dapat menyejukkan dan mereka cintai.” Aku menjawab, “Aku setuju pendapat Anda, wahai Amirul Mukminin.” 

Lalu Khalifah sulaiman menuliskan surat wasiat dengan tangannya sendiri yang isinya sebagai berikut,

“Sulaiman mengamanatkan kepada Umar bin Abdul ‘Aziz:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ini adalah surat dari Abdullah Sulaiman Amirul Mukminin kepada AUmar bin Abdul ‘Aziz. Sesungguhnya aku telah mengangkat menjadi khalifah menggantikanku. Dan orang sesudahnya adalah Yazid bin Abdul Malik. Maka, dengarkanlah dan taatilah dia dan bertakwalah kepada Allah ta’ala, dan janganlah kalian berselisih dan saling bertentangan sehingga kedamaian akan menyelimuti kalian.”

Orang-orang menyerukan dengan satu suara, “Wahai amirul Mukminin, kami semua telah bersepakat telah memilih Anda, kami rela dan menerima kepemimpinan Anda, kami mengiringi dengan sumpah dan doa.” Ketika suara telah reda, dan para penduduk telah rela dan menerima kepemimpinannya, dia bersyukur, memuji kepada Allah Ta’ala, mengucapakan shalawat dan salam kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. 

Setelah itu dia berkata, “Aku mewasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah Ta’ala karena tekwa adalah jiwa dari segala sesuatu dan ketakwaan kepada Allah bukanlah suatu kemunduran. Ketahuilah, dengan sebenar-benarnya tentang kehidupan akhirat nanti, karena sesungguhnya orang yang berusaha untuk kehidupan akhiratnya, maka Allah Ta’ala akan mencukupi kebutuhannya di dunianya. Perbanyaklah mengingat kematian dan usahakanlah untuk mendapatkan bekal kematian dengan sebaik-baiknya sebelum kematian itu benar-benar mendatangi kalian. Dengan mengingat kematian, kalian tidak akan terlena dalam kesenangan dan kemewahan. Sesungguhnya orang yang tidak mau mengingat akan hubungan antara kematian dan kehidupan kaum Adam, niscaya dia akan mendapatkan kesulitan ketika meninggal dunia kelak. 

Sesungguhnya umat ini tidak akan pernah mempersoalkan (mempedulikan) Tuhan (agama) dan tidak pula nabi mereka dan juga kitab-kitabNya, mereka hanya akan memperdulikan harta benda dan kekayaan. Sesungguhnya –demi Allah Ta’ala- aku tidak akan memberikan kesempatan kepada seorang pun untuk melakukan kebathilan dan aku tidak akan pernah mencegah seseorang melakukan kebenaran.” Setelah itu, dia mengeraskan suaranya hingga lebih banyak orang yang mendengarnya. Dia berkata, “Wahai manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib ditaati. Barangsiapa durhaka kepada Allah, maka tidak ada hak baginya untk ditaati. Taatlah kalian semua kepadaku selama aku taat kepada Allah, dan jika aku berlaku maksiat kepada Allah, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatiku.”

Rasa Takut dan Tangisannya

Dari Al Mughirah bin Hukaim, dia berkata, “Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, dia berkata kepadaku, “Wahai Mughirah, mungkin saja ada orang yang lebih baik shalat dan puasanya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz, akan tetapi aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih banyak takut dan lebih banyak menangis dihadapan Tuhannya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz. Jika dia masuk kerumahnya, dia langsung membungkukkan dir dalam persujudannya, dia tersu saja menangis hingga kedua matanya tertidur, kemudian terbangun dan menangis lagi dan lagi. Dia menghabiskan sebagian besar malamnya seperti itu.”

Dari Qatadah, dia berkata, “Ada seorang lelaki bernama Ibnu Al-Ahtam menemui Umar bin Abdul ‘Aziz. Dia terus saja memberi nasehat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz yang terus sesenggukan menangis, hingga sang khalifah jatuh pingsan.”

Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dia berkata, “Fatimah, isteri Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz telah memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika dia menemui suaminya itu, dan ternyata sang suami sedang melakukan shalat. Fatimah lalu menempelkan tangannya di pipi sang suami yang sedang basah oleh air mata. Setelah itu, Fatimah bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah ada sesuatu telah terjadi?” Dia berkata, “Wahai Fatimah, aku adalah orang yang diberi tanggung jawab terhadap permasalahan umat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Kemudian terpikir olehku, orang-orang fakir yang kelaparan, orang-orang sakit yang mengeluh, orang-orang yang kekurangan dan selalu berjuang dijalan Allah, orang-orang yang teraniaya yang selalu dipaksa orang-orang asing dan kaya raya, orang-orang sombong dan orang-orang yang menanggung beban keluarga diseluruh pelosok negeri. Aku sadar bahwa Tuhanku akan menanyakan tanggung jawabku terhadap mereka, pertanggung jawaban dihadapan Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat. Aku khawatir jika tidak mempunyai alasan untuk menjawab pertanyaannya hingga akhirnya aku menghibur diri dengan menangis.”

Kezuhudannya

Dari Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata, “Aku menemui Umar bin Abdul ‘Aziz untuk menjenguknya karena sakit. Saat itu dia mengenakan baju yang sudah jelek dan kotor, kemudian aku berkata kepada Fatimah binti Abdul Malik, isterinya, “Wahai Fatimah, cucilah baju Amirul Mukminin.” Sang isteri berkata, “InsyaAllah akan aku lakukan.” Selang beberapa waktu, aku pun kembali menjenguknya dan ternyata bajunya masih yang itu juga, sehingga aku pun berkata kepada isterinya, “Wahai Fatimah, tidakkah aku talah memintamu untuk membersihkan dan mengganti pakaian Amirul Mukminin, karena banyak warga yang ingin menjenguknya?” Fatimah berkata, “Demi Allah, dia tidak mempunyai baju yang selain itu.”

Dari Said bin Suwaid, dia berkata, “Sesungguhnya Umar bin Abdul ‘Aziz melakukan shalat Jum’at bersama dengan orang banyak. Kemudian, dia duduk dengan mengenakan pakaian yangsudah dijahit antara kedua tangannya sampai belakang. Sehingga seseorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, seseungguhnya Allah telah memberikan kemuliaan pangkat dan harta kepada Anda, tidakkah Anda memakainya?” Mendengar perkataan itu, sang khalifah agak menunduk kemudian menegakkan kepalanya kembali dan berkata, “Tujuan yang paling baik adalah jika dicapai dengan bersunguh-sungguh dan memberikan maaf yang paling baik adalah ketika dia mampu untuk membalas.”

Dari Malik bin Dinar, dia berkata, “Orang-orang berkata, “Malik bin Dinar adlah orang yang zuhud,” akan tetapi sebenarnya orang yang bisa dikatakan zuhud itu adalah Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikaruniai kemewahan dunia dengan segala isinya akan tetapi dia memilih untuk meninggalkannya.”
Ahmad bin Abi Al-Hiwari berkata, “Aku pernah mendengar Abu Sulaiman Ad-Darani dan Abu Shafwan saling berdebat tentang Umar bin Abdul ‘Aziz dan Uwais Al-Qarni. Abu Sulaiman berkata kepada Shafwan, “Umar bin Abdul ‘Aziz adalah yang lebih zuhud dibandingkan Uwais Al-Qarni.” Shafwan berkata, “Mengapa?” Abu Sulaiman menjawab, “Karena Umar bin Abdul ‘Aziz memiliki dunia dan dia lebih senang untuk meninggalkannya,” Kemudian Shafwan berkata kepadanya, “Dan Uwais pun jika memilikinya, niscaya dia akan melakukan zuhud seperti yang dilakukan Umar bin Abdul ‘Aziz.” Setelah itu, Abu Sulaiman berkata, “Janganlah Anda menyamakan antara orang yang mencoba dengan orang yang tidak mencoba. Sesungguhnya orang yang bergelimang harta namun harta tersebut tidak menjadi beban pikirannya lebih baik daripada orang yang tidak bergelimang harta meski pikirannya juga tidak terbebani oleh harta.”

Kewara’annya

Dari Abu Utsman Ats-Tsaqafi, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz mempunyai seorang pembantu yang bekerja dengan keledai milik sang khalifah. Biasanya, sang pembantu memberikan setoran kepada sang khalifah satu dirham setiap harinya. Pada suatu ketika, pembantu tersebut menyetorkan satu setengah dirham kepada majikannya itu sehingga Umar bin Abdul ‘Aziz lalu bertanya, “Apa yang terjadi padamu?” Sang pembantu menjawab, “Aku mendapatkan tambahan nafkah dari pasar.” Umar berkata, “Tidak, kamu pasti telah membuat keledai itu capek, istirahatkanlah iam selama tiga hari.”

Ja’wanah berkata, “Ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, Umar bin Abdul ‘Aziz terlihat bersyukur karenanya. Kemudian, sesorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, jika dia masih hidup, apakah Anda akan mengangkatnya sebagai putera mahkota?” Dengan tegas Umar menjawab, “Tidak.” Orang itu bertanya lagi, “Mengapa tidak, dan Anda malah bersyukur atas kematiannya?” Dia menjawab, “Aku takut dia akan menjadi perhiasan dimataku (yang dapat menghalanginya dari kebenaran), seperti perhiasan seorang anak pada orang tuanya.”

Dari Jarir bin Hazim dari seorang dari Fatimah binti Abdul Malik, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkeinginan minum madu. Saat itu, kami sedang tidak mempunyainya, kemudian kami memerintahkan kepada seseorang untuk membelikan madu ke Ba’labak dengan kendaraan miliknya, dan lelaki itupun kembali dengan membawa madu yang kami pesan. Setelah itu, kami berkata kepada sang khalifah, “Beberapa waktu yang lalu Anda berkeinginan untuk meminum madu, dan sekarang kami sudah mempunyainya, Apakah Anda masih menginginkannya?” Dia berkata, “Ya.” Kemudia kami membawakan madu itu kepadanya, dan dia berkata, “Darimana kalian mendapatkan madu ini?” Aku berkata, “Kami memerintahkan seseorang yang berkendaraan untuk membelikan madu dengan dua dinar ke Ba’labak, lelaki itu membelikan madu dengan harga dua dinar itu.” Mendengar itu, dia berkata, “Panggilkan lelaki itu kemari.” Tidak lama kemudian lelaki itu datang menghadap, dan Umar berkata, “Pergilah kepasar dengan membawa madu ini lalu jual, setelah itu, kembalikan uang kami dan selebihnya serahkan ke baitul mal kaum Muslimin dan belikan makanan untuk kendaraan Anda itu. Kalaulah muntahanku bermanfaat bagi kaum muslimin, niscaya akan aku muntahkan (madu yang telah diminumnya.”

Dari Yahya bin Said, dia berkata, “Abdul Humaid bin Abdirrahman menulis sepucuk surat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz. Dalam suratnya itu dia berkata, “Sesungguhnya telah ada pengaduan kepadaku tentang seseorang yang mencaci Anda, kemudian aku berniat membunuhnya. Akan tetapi, aku membatalkannya hingga akhirnya aku berinisiatif menulis surat kepada Anda untuk meminta pendapat Anda.” Umar bin Abdul ‘Aziz memberikan seseorang tidak berhak untuk dibunuh hanya karena mencaci orang lain, kecuali yang mencaci Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Jadi, caci makilah dia jika kamu menginginkannya, kemudian lepaskan.”

Kerendahan Hatinya

Dari Raja’ bin Haiwah, dia berkata, “Aku pernah begadang malam bersama Umar bin Abdul ‘Aziz, tiba-tiba lampu padam. Lalu aku bergegas untuk berdiri dan memperbaikinya, akan tetapi Umar bin Abdul ‘Aziz melarangku. Setelah itu, dia memperbaikinya sendiri dan duduk kembali, lalu dia berkata, “Jika kamu duduk, maka aku tetap Umar bin Abdul ‘Aziz (orang biasa yang tak perlu diistimewakan). Dan jika kamu berdiri, maka aku juga tetap Umar bin Abdul ‘Aziz dan celakalah seseorang yang memperkerjakan tamunya.”

Komitmennya Terhadap Sunnah Rasulullah

Dari Ziyad bin Mikhraq, dia berkata, “Aku pernah mendengar Umar bin Abdul ‘Aziz berkhutbah didepan warganya, “Kalaulah bukan karena Sunnah yang aku hidupkan atau bid’ah yang aku pecundangi, niscaya aku akan menjadi hina dan tidak bisa hidup mulia dan terhormat.”

Dari Hazm bin Abi Hazm, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkata kepadanya, “Kalaulah semua bid’ah itu bisa terkikis habis karena usahaku, dan semua sunnah itu bisa jaya karena usaha dan perjuanganku dengan mengorbankan sedikit dagingku dan sampai akhirnya membutuhkan pengorbanan jiwaku, niscaya itu sangat mudah bagi Allah.” Imam bin Hambal pernah berkata, “Sesungguhnya Allah akan mengutus seseorang untuk menghidupkan kembali agama dan Sunnah Rasul-Nya dan membantah kebohongan yang dituduhkan kepada beliau setiap seratus tahun sekali. Dan setelah aku amati, ternyata dia adalah Umar bin Abdul ‘Aziz pada seratus tahun pertama dan Imam Syafi’I pada seratus tahun kedua.”

Kata-Kata Mutiaranya

Dari Abdurrahman bin Maisarah Al-Hadrami, dia berkata, “Sesungguhnya Umar bin Abdu ‘Aziz pernah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukanlah sekedar melakukan puasa pada siang hari, bangun shalat malam dan melaukan semua rutinitas itu, akan tetapi ketakwaan kepada Allah adalah dengan meninggalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengerjakan apa yang telah diwajibkanNya. Barangsiapa yang diberikan kebaikan karena telah melakukan perbuatan takwa itu, maka dia telah mendapat kebaikan diatas kebaikan.”

Dari Mahmun bin Mihran, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz pernah memberikan nasehat kepadaku, dia berkata, “Wahai Maimun, janganlah kamu menyendiri di tempat sunyi dengan seorang perempuan yang bukan mahram, walaupun kamu membacakan Al Qur’an untuknya; Janganlah kamu dekat dengan pemerintah walaupun kamu ingin memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar; Jangan pula kamu berbuncang-bincang dengan ahli bid’ah, karena itu akan menjerumuskanmu kedalam sesuatu yang membuat kemurkaan Allah kepadamu.”

Meninggalnya

Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia di Dir Sam’an, pada tanggal 10 atau 5 bulan Rajab tahun 101 Hijriyah. Saat itu dia genap berusia 39 tahun lebih enam bulan. Meninggalnya karena meminum racun yang telah direkayasa oleh bani Umayyah sendiri, karena Umar bin Abdul ‘Aziz dikenal tegas terhadap kezhaliman mereka, mencabut semua kekebalan hukum dan hak istimewa mereka serta memutus semua sumber dana kekayaan mereka. Dia memang mengabaikan kehati-hatian dan pengamanan pada dirinya.

Mujahid berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz berkata kepadaku, “Apa yang dikatakan orang-orang tentangku?” Aku berkata, “Mereka mengatakan bahwa Anda terkena sihir.” Dia berkata, “Aku tidak terkena sihir, sesungguhnya aku tahu saat diberi minuman beracun.” Sang khalifah kemudian memanggil budaknya dan lantas berkata kepadanya,” Celakalah kamu! Apa yang membuatmu tega memberikan minuman beracun kepadaku?” Sang budak menjawab, “Aku mendapat seribu dinar dan dimerdekakan.” Dia berkata, “Mana uang itu?” Budak itu datang mengambil dan memberikan uang tersebut, kemudian Umar bin Abdul ‘Aziz menaruhnya di Baitul Mal. Selanjutnya Umar berkata, “Pergilah kamu ketempat yang sekiranya tidak diketahui seorang pun.”

Dari Ubaid bin Hisan, dia berkata, “Ketika Umar bin Abdul ‘Aziz sedang mengalami sakratul maut, dia berkata, “Keluarlah kalian dari sini,” Hingga tidak seorangpun didekatnya. Dia mempunyai pelayan bernama Maslamah bin Abdul Malik. Dia (perawi) berkata, “Kemudian mereka keluar, namun Maslamah dan Fatimah tetap berada dekat pintu kamar sang khalifah. Ubaid selanjutnya berkata, “Mereka mendengar Umar bin Abdul ‘Aziz berkata sendiri dari dalam kamarnya, “Selamat datang kepada wajah-wajah ini, bukan wajah manusia ataupun jin.” Ubaid berkata, “Kemudian sang khalifah berkata, “Itulah rumah akherat yang Kami ciptakan bagi orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan didunia, dan pembalasan bagi orang-orang yang beriman.”

Perawi (Ubaid) berkata, “Kemudian sunyi tidak ada kata yang terucap, Maslamah lalu berkata kepada Fatimah, “Suamimu telah diambil Yang Kuasa.” Akhirnya mereka masuk dan menemukan Umar bin Abdul ‘Aziz sudah tiada dengan tertutup matanya.” Kita akan mengakhiri biografi Umar bin Abdul ‘Aziz dengan apa yang disebutkan Ibnu Al Jauzi dalam kitab sirah-nya, dia berkata, “Ada yang memberitahukan kepadaku bahwa Al-Manshur berkata kepada Abdurrahman bin Al Qasim, “Berilah aku nasehat!” Dia berkata, “Dengan apa yang pernah aku lihat atau dengan apa yang pernah aku dengar?” Dia berkata, “Dengan apa yang pernah yang Anda lihat.” Dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, dengan meninggalkan 11 putera, harta warisannya 17 dinar. Harta itu lalu digunakan mereka untuk membeli kain kafan 5 dinar dan kuburannya 2 dinar. Dan yang tersisa dibagikan kepada semua anggota keluarga dan setiap mereka mendapat 19 dirham.

Hisyam bin Abdul Malik meninggal dunia, dia meninggalkan 11 putera, harta warisannya dibagikan kepada anak-anaknya itu dan masing-masing mendapatkan ribuan dinar. Dan aku pernah melihat seorang lelaki dari keturunan Umar bin Abdul ‘Aziz membawa seratus kuda perang untuk dishadaqahkan guna dipakai berperang dijalan Allah dalam satu hari, dan aku melihat seorang lelaki dari keturunan Hisyam bin Abdul Malik diberikan shadaqah (karena sudah jatuh miskin).”

Sumber:
Biografi 60 Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid: Pustaka Al-Kautsar



Related Posts
Previous
« Prev Post