Haruskah Kita Kaya?

Jerat dan tipu daya setan yang paling besar yaitu tatkala orang-orang kaya senantiasa dikepung angan-angan tiada berujung. Sepanjang hari dan waktunya hanyut dalam kelezatan-kelezatan dunia yang mencegahnya untuk ingat kepada alam akhirat. Jika mereka telah termakan oleh tipu daya setan, dengan cara menjadikan harta sebagai segalanya, selanjutnya setan menyuruh mereka kikir, dengan anggapan bahwa harta itu adalah hasil usaha dan keringatnya semata. Itulah jerat yang paling ampuh dan kuat yang dimiliki setan.


Setan lalu menyembunyikan tipu daya dan jeratnya itu dengan cara yang sangat samar. Dia menakut-nakuti kaum mukminin untuk tidak mencari dan mengumpulkan harta, hingga orang-orang yang cinta akhirat dijauhkan darinya, serta orang-orang yang baru bertaubat langsung melepas seluruh harta dari genggamannya. Walau begitu, setan masih saja mengiming-iminginya agar berzuhud, meninggalkan kerja; menakut-nakutinya yang hendak mencari jalan memperoleh rezeki, dengan cara memberikan bayangan kepadanya itu adalah cara terbaik dan sangat mujarab untuk menjaga kebersihan agamanya. 

Di dalamnya terkandung sebuah tipu daya yang sangat mematikan. Bisa saja setan membisikkan kepadanya lewat guru-guru dan para alim yang kini menjadi panutan orang-orang yang bertaubat, “Keluarkanlah hartamu dan masuklah ke dalam barisan orang yang zuhud, karena jika engkau masih menyisakan makanan untuk makan siang dan makan malammu, engkau belumlah termasuk orang-orang yang zuhud dan engkau tak akan memperoleh derajat kaum yang bersungguh-sungguh. Mungkin mereka termakan oleh hadits-hadits yang tidak jelas kedudukannya.”

Tatkala seluruh harta miliknya telah habis dan ia tidak lagi memiliki usaha, ia kembali kepada keadaannya semula, ingin berteman dengan kawan-kawan lamanya, serta pandangannya dihiasi anggapan bahwa bergaul dengan penguasa adalah menyenangkan. Ia tak mampu lagi berzuhud kecuali dalam hitungan hari, kemudian kembali pada tabiat awalnya, yang justru menjerumuskannya kembali kepada jurang kesesatan yang lebih dalam. Ia kemudian menjual agamanya untuk memperoleh dunianya. Ia menjadikan agama laksana sapu tangan yang hanya dibuat untuk membersihkan kotoran.

Ia akhirnya berada di pihak yang terkalahkan, direndahkan, dan disingkirkan. Jika ia merenungi dan mengambil hikmah dari kisah orang-orang besar dan terhormat di masa lalu, ia akan tahu bahwa Nabi Ibrahim memiliki sejumlah kekayaan dan harta hingga wilayah tempat tinggalnya menjadi sempit dipenuhi ternak peliharaannya. Demikian juga Luth dan sebagian besar nabi dan rasul serta para sahabat. Mereka bersabar tatkala betul-betul harta dan kekayaannya memang sudah tiada.

Mereka sama sekali tidak bermalas-malasan untuk mencari nafkah demi kemasalahatan mereka dan tidak segan-segan menikmati yang mubah dan halal tatkala ada. Abu Bakar melakukan bisnis saat Rasulullah masih hidup. Kebanyakan sahabat mengeluarkan kelebihan harta bendanya dan tidak pernah mengambil dari kas Negara. Mereka memberikan harta kekayaannya kepada sahabat-sahabat yang membutuhkan. Jika diberi sesuatu mereka tidak pernah menolak, namun tak pernah pula meminta.

Kebanyakan ulama dan ahli agama demikian keadaannya. Awalnya mereka disibukkan oleh ilmu, namun tatkala membutuhkan sesuatu untuk keperluan dan hajatnya sehari-hari, mereka malah menjadi hina dengan cara menengadahkan tangan dan meminta-minta. Padahal, merekalah orang yang paling berhak untuk tidak melakukan itu semua.

Dahulu, pada saat baitul mal masih ada, sangatlah cukup bagi orang-orang yang menerjunkan diri sepenuhnya adalah kegiatan agama untuk mengambil bagian dari baitul mal. Akan tetapi, tatkala kini tak ada lagi baitul mal, tak ada cara lain bagi orang yang mengaku beragama, namun tanpa usaha atau bisnis, kecuali harus menjual agamanya. Alangkah celakanya jika ia sampai menjual agamanya dan tidak menghasilkan apa-apa dari tindakannya itu.

Oleh sebab itu, wajiblah bagi orang yang cerdas untuk memelihara apa yang dimilikinya dan rajin berusaha untuk tidak membuka peluang bagi kezaliman atau penghinaan orang-orang yang bodoh. Sikapilah dengan arif omongan-omongan orang yang mengajak pada kemiskinan. Orang itu menganggap kesabaran menerima kefakiran akan berbuah pahala laksana kesabaran menerima suatu penyakit, kecuali memang dia pengecut, tidak mau berusaha dan merasa cukup hanya dengan meminta-minta.

Seorang pahlawan adalah sosok yang selalu berusaha untuk memberi dan bukan minta diberi; yang bersedekah dan bukan minta disedekahi.

Shaidul Khadir, Ibnu Al-Jauzi: Maghfirah Pustaka



Related Posts
Previous
« Prev Post