Makna Sebenarnya Takwa

Takwa merupakan wasiat Allah kepada umat generasi pertama dan generasi akhir. Allah Ta’ala berfirman, “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ada dilangit dan yang dibumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu; bertakwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah) sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. An-Nisa: 131)

Para ulama salaf telah banyak memberikan makna mengenai hakikat takwa.
Ibnu Umar berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat takwa sebelum meninggalkan apa yang menggelisahkan di dada.”


Ali bin Abi Thalib ditanya tentang takwa, lalu beliau menjawab, “Takut kepada Al-Jalil (Yang Mahamulia), mengamalkan tanzil (Al-Qur’an), qana’ah kepada pemberian yang sedikit, serta bersiap-siap untuk menghadapi yaum ar-rahil (hari kematian).”

Ibnu Mas’ud berkata, “Takwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa, yakni Allah ditaati tanpa pernah didurhakai, diingat tanpa pernah dilupakan, disyukuri tanpa pernah dikufuri.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Takwa adalah meninggalkan apa yang diharamkan dan melaksanakan apa yang diwajibkan Allah. Maka, apa-apa yang dikaruniakan Allah sesudah itu adalah kebaikan ditambah kebaikan.”

Thalq bin Habib berkata, “Takwa adalah taat kepada Allah, mengikuti cahaya dari Allah dengan mengharap pahala dari Allah, dan meninggalkan maksiat kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan rasa takut akan hukuman Allah.”

Ibnu Al-Mu’taz menyatakan dalam sya’irnya, “Jauhilah dosa-dosa kecil maupun besar, itulah takwa. Berbuatlah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri melihat dengan hati-hati. Jangan sepelekan dosa-dosa kecil, karena sesungguhnya gunung itu terdiri dari pasir.”

Jadi, hakikat takwa merupakan kata yang mencakup segala perbuatan taat dan meninggalkan maksiat─baik besar maupun kecil.

Takwa secara garis besar adalah mengekang jiwa yang beriman dari dalam sehingga muncul kebaikan dari dirinya tanpa tekanan-tekanan eksternal, dan menjauhi keburukan tanpa ancaman atau paksaan.

Sumber:
Hasyim Ali A. 2008. Tarbiyah Dzatiyah terjemah Muhammad Misbah. Jakarta: Robbani Press



Related Posts
Previous
« Prev Post