Mushaf Utsmani, Kumpulan Ayat-Ayat Allah Ta’ala

Mushaf Utsmani, Kumpulan Ayat-Ayat Allah Ta’ala

Setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, Al-Quran hanya berada di dada-dada kaum muslimin. Ada juga yang ditulis di pelepah-pelepah daun kurma, batu putih yang tipis dan halus, dan lain-lain. Keadaan tersebut membuat kaum muslimin membaca Al-Quran dengan dialek yang berbeda.

Mungkin tidak setiap muslim mengetahui bahwa Al-Quran yang banyak dibaca saat ini, dulunya berasal dari ayat-ayat Al-Quran yang berserakan. Namun, akhirnya lembaran ayat-ayat yang berserakan tersebut dikumpulkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, yang kemudian disebut dengan mushaf Utsmani.

Istilah mushaf Utsmani sudah tidak asing lagi di telinga umat Islam. Istilah mushaf dibentuk dari kata ‘shahifah’, yaitu bentuk jamak dari kata ‘shaha’if’, ‘shuhuf’. Menurut Al-Jauhari dalam kitab Ash-Shihah fi Al-Lughah, shahifah berarti al-kitab. Secara bahasa, shahifah bisa diartikan sebagai lembaran-lembaran tulisan.

Mushaf Utsmani adalah mushaf dari ayat-ayat Allah Ta’ala yang dikumpulkan kaum muslimin pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Mushaf Al-Quran tersebut dibakukan penulisannya pada tahun 25 Hijriyah.

Pada masa kekuasaan Khalifah Utsman bin Affan, mushaf masih gundul, tidak berharakat atau tidak terdapat tanda baca. Untuk menghindarkan dari kesalahan baca, lalu ahli bahasa, Abu Al Aswad Zalim bin Sufyan Ad-Dhua’ali merumuskan tanda harakat dan titik atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Dalam hal bacaan, orang-orang yang mula-mula menaruh perhatian terhadap kemungkinan pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat Islam adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan tersebut kemudian disampaikan kepada Khalifah Utsman agar mendapatkan penyelesaian. Langkah awal yang dilakukan Khalifah Utsman adalah meminta kumpulan naskah Al-Quran yang disimpan Hafsah binti Umar, yaitu kumpulan tulisan yang berserakan pada zaman pemerintahan Abu Bakar.

Khalifah Utsman kemudian membentuk suatu badan atau panitia yang diketuai Zaid bin Sabit, sedangkan anggotanya adalah Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris. Tugas yang harus dilaksanakan oleh tim tersebut adalah membukukan lembaran-lembaran yang lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat AlQuran ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf.

Dalam pelaksanaannya, Khalifah Utsman mengintruksikan agar penyalinan tersebut harus berpedoman kepada bacaan mereka yang menghafalkan Al-Quran. Seandainya terdapat perbedaan dalam pembacaan, yang ditulis adalah yang berdialek Quraisy. Sebab, Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy. Bahasa Quraisy merupakan bahasa yang paling mulia, bahasa yang digunakan 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya.

Salinan kumpulan Al-Quran yang dikenal dengan Al-Mushaf, oleh panitia tersebut diperbanyak sebanyak lima buah. Empat naskah dibawa ke Makkah, Suriah, Basrah, dan Kufah. Sementara, satu naskah lagi tetap berada di Madinah yang disebut mushaf Al-Imam.

Tujuan awal pengumpulan Al-Quran tersebut, yaitu untuk mempersatukan semua umat Islam yang sempat terpecah belah karena adanya perbedaan dalam pembacaan Al-Quran. Khalifah Utsman juga memerintahkan kepada semua gubernurnya untuk segera menghancurkan semua mushaf yang ada ditengah-tengah masyarakat dan digantikan dnegan mushaf yang kini disebut mushaf Utsmani tersebut.

Sejak saat itu, kaum muslim bersatu di atas satu mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani dirumuskan dengan nukilan yang mutawatir, sehingga tidak ada perbedaan atau perselisihan sedikit pun dalam nukilan tersebut. Mushaf Al-Quran yang disebut sebagai mushaf Utsmani akan tetap terpelihara  di atas pemeliharaan Allah Ta’ala sampai hari kiamat.


Republika 15 April 2016

Related Posts
Previous
« Prev Post