Sekitar 1,5 miliar jiwa atau 24 persen dari total populasi
dunia menderita infeksi cacingan.
Cacingan masih menjadi penyakit yang ternyata banyak di
derita anak-anak Indonesia yang tak terkecuali di kota besar seperti Jakarta. Namun,
masyarakat belum sepenuhnya menyadari akan bahaya cacingan yang berpotensi
menghambat pertumbuhan dan kecerdasan anak.
Potensi menghambat pertumbuhan itu terjadi karena larva
cacing yang masuk ke dalam tubuh menuju usu akan hidup dan bermukim di sana.
Cacing akan menggigit dinding usus dan mengambil nutrisi dari makanan yang
sudah dimakan oleh anak. Akibatnya, anak kekurangan nutrisi dan perkembangan
kognitifnya juga akan menurun. Kondisi tersebut akan membuat potensi IQ mereka
menjadi berkurang, sulit menerima pelajaran dengan baik, dan mudah lelah.
Menyadari betapa pentingnya meningkatkan kesadaran
masyarakat atas bahaya cacingan yang diderita anak-anak maka perlu pembinaan
dan sosialisasi untuk mengatasi masalah cacingan.
Diperlukan kesadaran kebersihan dan kesehatan diri serta
lingkungan pada anak-anak yang tentunya melibatkan pembinaan dari orangtua.
Cacingan banyak diderita anak-anak di negara maju dengan
tingkat ekonomi menengah ke atas dan ke bawah. Dalam hal itulah, Pemerintah
Indonesia terus berupaya mengurangi masalah ini dengan cara mempromosikan gaya
hidup sehat dan sanitasi yang bersih. Khusus bagi anak-anak melalui edukasi
dari orangtua maupun guru di sekolah.
Saat ini, penyakit cacingan merupakan masalah kesehatan yang
menjadi ancaman masyarakat dunia. Berdasar data terbaru dari WHO, sekitar 1,5
miliar atau 24 persen dari total populasi dunia menderita infeksi cacingan.
Infeksi cacingan ini menyebar luas di daerah tropis dan
subtropics dengan jumlah yang cukup besar di wilayah Afrika, Amerika, dan Asia
Timur. Di Indonesia sendiri angka penderita cacingan masih sangat tinggi.
Rata-rata prevalensinya sebesar 28 persen dengan tingkat yang berbeda-beda di
tiap daerah.
Data dari Kemenkes untuk wilayah juga menunjukkan bahwa
tingkat prevalensi di Wilyah Jakarta Timur juga cukup tinggi, yakni mencapai
48,73 persen.
Hal ini diakibatkan berbagai macam faktor, yakni sanitasi
buruk, lingkungan tidak bersih, hingga akibat iklim tropis di Indonesia.
Faktor-faktor tersebut memungkinkan cacing dapat berkembang biak dengan baik di
dalam tanah dan masuk ke kulit manusia melalui berbagai cara, seperti misalnya,
orang yang malas menggunakan sepatu dan menginjak tanah, tidak cuci tangan
sebelum makan, hingga ke dalam sumur air yang kurang dari 10 meter yang dekat
dengan septic tank.
Idealnya sumur air itu harus digali sedalam 10 meter di
dalam tanah agar jaraknya jauh dari pembuangan septic tank di rumah. Karena
selain dapat berkembang di dalam tanah, cacing juga dapat berkembang dan
menular melalui kotoran manusia.
Secara keseluruhan, penyakit cacingan pada anak ini bisa
dicegah. Caranya, selain menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan gaya
hidup sehat, yang tak kalah penting adalah mengonsumsi obat cacing setiap enam
bulan sekali.
WHO juga menyarankan agar masyarakat mengonsumsi obat cacing
setahun sekali, terutama mereka yang tinggal di lingkungan dengan tingkat
prevalensi cacingan lebih dari 20 persen dan dua kali setahun untuk yang lebih
dari 50 persen.
Tingkat pengetahuan yang komprehensif bagi orangtua terhadap
anak tentang hidup bersih juga tak kalah penting dilakukan sebagai upaya
pencegahan. Hal ini dapat menurunkan prevalensi penderita cacingan, mengurangi
infeksi berat pada anak, serta mengurangi dampak cacingan.
Setelah mengetahui gejala-gejala cacingan pada anak agar
lebih pasti sebaiknya melakukan pemeriksaan tinja dan tes laboratorium.
Rangkaian tes ini berguna untuk memastikan apakah anak terkena cacingan atau
hanya penyakit biasa.
Upaya ini dilakukan semata-mata karena gejala yang
ditimbulkan pada anak yang menderita cacingan hampir sama dengan gejala suatu
penyakit. Si penderitanya terlihat lesu, lemah, anemia, dan kurang bergairah
dalam menjalankan aktivitasnya.
Republika 17 November
2015