Dalam kitab “mizan al-‘amal”, Imam Al-Ghazali menjelaskan
bahwa psikologi atau ‘ilm al-nafs pada hakekatnya bertujuan melatih jiwa dan
mengendalikan hawa nafsu. Oleh karena itu, mempelajari ilmu ini adalah wajib.
Sebab melalui ilmu ini cara-cara penyucian jiwa dapat dicapai. “Sesungguhnya
beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu.” (QS. 91:9)
Sedangkan mengabaikan ilmu ini akan berakhir dengan
kerugian. “Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya.” (QS.
91:10)
Sakit jiwa lebih parah dibanding sakit fisik. Penyakit fisik
hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan
kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kaidah-kaidah
penyembuhan sakit jiwa harus lebih diutamakan.
Pada intinya tazkiyah al-nafs difokuskan untuk mengarahkan
tiga kekuatan dalam diri manusia, yaitu kekuatan fikir, kekuatan syahwat, dan
kekuatan amarah. Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir. Terbinanya
potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi
mencampuradukkan antara keimanan pada yang hak dan yang batil, antara perkataan
yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela. Hikmah juga
menjaga akal manusia agar tidak terjerumus ke dalam limbah relativisme dan
belantara purba sangka dalam berislam.
Fokus kedua ditujukan pada pengarahan kekuatan syahwat.
Dengan terarahnya potensi ini, maka tercapailah kesederhanaan jiwa (iffah).
Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa
mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji. Ketiadaan iffah akan
menggelincirkan manusia sebagai penyembah syahwat. Jiwa yang terkotori hawa
nafsu dan akhlak tercela akan membuka bagi pintu-pintu setan, sehingga akalnya
pun selalu diarahkan untuk berkhidmat kepada nafsu dan membuat makar. Ini
karena kabut hitam telah menyelimuti kalbu dan memadamkan cahaya iman, sehingga
tidak menyisakan ruang untuk bertafakur. Fokus ketiga diarahkan untuk
mengendalikan kekuatan amarah hingga tercapainya kesabaran dan keberanian. Maka
orang yang telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas, niscara akan
bersemai sifat adil dalam jiwanya.
Hasil Terapi Tiga Potensi Manusia
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah.
Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. 49:15)
Iman kepada Allah dan rasul-Nya pada ayat di atas disertai
dengan menafikan keraguan. Dan keraguan hanya bisa dinafikan dengan adanya
keyakinan ilmu dan hikmah yang diperoleh dari pembinaan terhadap potensi fikir.
Sedangkan berjihad dengan harta terlaksana berkat iffah yang lahir dari
manajemen potensi syahwat. Berjihad dengan jiwa, tidak terlaksana kecuali
adanya keberanian dan kesabaran yang merupakan buah pengendalian potensi
amarah.
Dengan demikian, jiwa yang sehat menurut Imam Al-Ghazali
adalah jiwa yang dihiasi denan empat induk kesalehan, yakni hikmah,
kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Beliau menjelaskan bahwa kerelaan
memaafkan orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian yang
sempurna. Kesempurnaan iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada
orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap
menjalin silaturahmi terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan
adalah wujud dari ihsan yang sempurna.
Sebaliknya, ciri-ciri jiwa yang sakit adalah kosongnya jiwa
dari keempat induk kesalehan di atas. Sakit jiwa bukan sekedar hilangnya akal, tetapi
ia juga hilangnya ketaatan pada Sang Khaliq. Jikwa yang sehat adalah yang
dimakmurkan ketakwaan, disucikan dengan riyadhah, jauh dari keburukan akhlak
serta memotivasi akal untuk menyelami rahasia kebajikan.
Maka dengan ketiadaan setan yang mengitari kalbu manusia,
peluang merasakan keagungan Allah dalam diri setiap manusia semakin terbuka
lebar.
Republika 18 Juni 2015