Sebagian wanita ada yang mengalami siklus haid tidak
teratur. Disebabkan kondisi tubuh yang tidak stabil atau sakit, wanita bisa
saja dalam beberapa bulan tidak haid. Misalkan, setelah melahirkan yang mungkin
saja haid baru datang setelah enam bulan. Ada pula yang mengalami masa haid
yang sudah berhenti, namun selang beberapa hari darah tersebut keluar lagi.
Padahal, masih dalam satu fase haid dan pada bulan yang sama. Dalam kondisi
tersebut, bagaimana solat mereka?
Wabuta yang mempunyai siklus haid teratur diistilahkan
dengan mu’tadah. Walau setiap wanita berbeda-beda masa haidnya, masa siklus
haidnya tetap sama. Misalnya, setiap masa haid ia mengalami haid selama enam
hari, tujuh hari, dan seterusnya. Cara menyimpulkannya dengan
mengalkulasikannya selama tiga kali haid. Jika lamanya haid selalu stabil dan
teratur, ia tergolong pada wanita mu’tadah.
Siklus wanita mu’tadah inilah yang disepakati ulama fikih.
Jika darah haidnya telah yakin berhenti, kewajiban solat langsung dibebankan
kepadanya. Di akhir masa berakhirnya masa haid, si wanita harus teliti dengan
darah haidnya agar tidak melalaikan solat. Yang menjadi perbedaan ulama adalah
wanita yang tidak memiliki siklus haid teratur. Wanita seperti ini pada
dasarnya dianjurkan untuk berobat agar bisa mengalami siklus haid sesuai sesuai
fitrah kaum wanita. Dari segi kesehatan, haid yang tidak teratur bisa menjadi
indikasi adanya gangguan reproduksi. Dari segi fikih, ia akan mudah menentukan
masa suci dan haid yang bersangkutan dengan ibadahnya.
Beberapa kasus haid tidak teratur seperti wanita yang
awalnya memiliki masa haid teratur, namun di fase berikutnya tidak teratur
lagi. Ada yang mengalami berhentinya haid di tengah-tengah waktu kebiasannya.
Setelah ia bersuci ternyata keluar lagi. Ada pula yang darahnya masih keluar,
padahal sudah melewati jumlah hari kebiasaan haid.
Persoalan ini menuai berbagai pendapat para ulama fikih.
Dalam mazhab Hanafi, istilah mu’tadah berpatokan pada kebiasaan masa hadi. Di
luar kebiasaan tersebut, darah yang keluar disebut istihadhah. Darah istihadhah
tetap mewajibkan wanita untuk solat dan tidak menghalanginya untuk beribadah.
Istihadhah bisa disebabkan penyakit dan tidak akan bergenti mengalir sampai
sembuh.
Mazhab Hanafi juga meyakini, darahnya yang keluar setelah
masa kebiasaan haid termasuk darah istihadhah. Misalnya, bila ada wanita
terbiasa haid tujuh hari setiap bulannya. Kemudian, pada satu masa haid
selanjutnya darahnya masih tetap mengalir. Maka darah yang keluar setelah hari
ketujuh tersebut dianggah istihadhah.
Jika masa haidnya si wanita lebih dari 10 hari setiap
bulannya, mazhab Hanafi berpendapat bahwa haid hanya 10 hari pertama. Darah
yang keluar pada hari ke-11 dan selanjutnya juga dihukum istihadhah. Mazhab
Hanafi berdalil dari kebiasaan kaum wanita yang mana mas haidnya tidak akan
lebih dari 10 hari 10 malam.
Bagaimana jika darah haid terputus di tengah-tengah masa
haid kemudian keluar lagi? Menurut mazhab hanafi, darah yang keluar kedua juga
dianggap darah haid, bukan istihadhah. Namun tetap berpatokan pada kaidah masa
haid 10 hari. Jika darah kedua lewat dari 10 hari, hari ke-11 kembali dihukumi
istihadhah.
Oada masa haid tersebut terputus, mazhab Hanafi tetap
mewajibkan solat bagi wanita. Misalkan, haid dimulai tanggal 1-4 lalu darahnya
berhenti pada tanggal 5-6. Tanggal 7-9 darah tersebut keluar lagi. Wanita tetap
diwajibkan solat pada tanggal 5-6 saat darah berhenti.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, apabila darah keluar pada
hari pertama lalu terputus kemudian keluar lagi, darah yang pertama dan kedua
dianggap satu fase darah haid. Dengan syarat bahwa darahnya tidak terputus atau
tidak berhenti lebih dari 15 hari. Karena, menurut mazhab Syafii, masa suci
minimal 15 hari. Sama seperti mazhab Hanafi, ketika haid terputus selama
beberapa hari itu si wanita tetap di wajibkan solat.
Secara umum, mazhab Hanafi dan Maliki hampir sama soal
terputusnya darah di tengah-tengah masa haid. Perbedaannya, mazhab Hanafi
menyebut minimal masa haid adalah tiga hari dan maksimal 10 hari. Sedangkan,
mazhab Maliki berpendapat minimal haid adalah beberapa tetes saja, sedangkan
maksimalnya adalah 18 hari bagi mu’tadah dan 15 hari bagi yang bukan mu’tadah.
Dalam mazhab Syafii, masa haid yang terputus tetap dianggap
sebagai satu rangkaian masa haid. Syaratnya, sejak pertama darah keluar hingga
habis darah kedua itu tidak melebihi masa maksimal haid, yakni 15 hari. Mazhab
Syafii juga mensyaratkan darah pertama keluar sudah mencapai waktu sehari
semalam.
Contoh, seorang wanita mengalami haid pada tanggal 1-4,
kemudian darah terputus pada tanggal 5-7. Haidnya kembali keluar tanggal 8-12 .
Maka, dari tanggal 1 sampai 12 dianggap keseluruhannya dalam keadaan haid.
Artinya, ia tidak perlu solat ketika haidnya terputus.
Sedangkan dalam mazhab Hambali, apabila darah haid wanita
berhenti, baik karena terputus maupun tidak, ia dihukumi sebagaimana wanita
yang suci. Dan jika darahnya keluar lagi, berarti ia kembali haid dan tidak
boleh melaksanakan solat.
Republika 2 Oktober 2015