Baru-baru ini media massa di Tanah Air riuh oleh pemberitaan
aksi teror Thamrin. Foto-foto pelaku teror, korban, sampai aksi heroik aparat
(hingga pedagang asongan) ramai menghiasai halaman dan laman media massa.
Beberapa media mengurangi adegan-adegan yang terlalu vulgar.
Sementara lainnya tidak sedikit mengumbar foto-foto yang sarat dengan
kengerian. Di dunia maya dan media sosial foto yang muncul pun tampak lebih
beragam dan nyaris tanpa sensor.
Pada era sekarang, lalu lintas foto-foto kekerasan
(jurnalistik atau bukan) sangat mudah diakses. Dengan menggunakan kata kunci
yang sesuai, mesin pencari di internet akan segera memunculkan berbagai jenis
foto yang dimaksud.
Mulai dari foto-foto kekerasan karya perorangan hingga karya
foto jurnalis berlimpah di dunia maya. Konflik sebagai salah satu penyebab
tindak kekerasan memang menjadi salah satu kriteria peristiwa yang memiliki
nilai berita.
Foto kekerasan dalam dunia fotografi bisa dirunut tidak lama
sejak teknologi fotografi ditemukan. Foto dokumentasi berbagai peperangan
menjadi awal kekerasan sebagai objek sebuah foto. Tercatat perang Krimea di
Semenanjung Krimea pada 1853-1856. Perang ini mengawali pendokumentasian secara
lengkap melalui medium foto.
Di sisi dunia yang lain, Perang Sipil di Amerika Serikat
pada 1861-1865 turut didokumentasikan melalui medium foto. Selanjutnya, seiring
dengan perkembangan teknologi fotografi. Kekerasan terus mewarnai objek-objek
foto yang dipilih oleh fotografer saat itu.
Mulai dari Perang Dunia I hingga berbagai perang dan konflik
di berbagai belahan dunia, belakangan foto-foto kekerasan semakin beragam
jenisnya. Tidak melulu terkait peperangan. Termasuk di antaranya foto-foto aksi
teror.
Seiring dengan perkembangan teknologi, foto-foto dokumentasi
tadi bisa ditayangkan di media massa dan menjadi foto jurnalistik. Dari waktu
ke waktu, foto jurnalistik dengan tema kekerasan pun terus bermunculan. Bahkan,
beberapa menjelma menjadi foto ikonik pada setiap generasinya.
Fakta dan etika
Dalam menayangkan foto-foto kekerasan, kode etik jurnalistik
telah memberikan panduan lengkap. Media harus menghindari gambar dan video yang
menayangkan korban dan aksi kekerasan secara vulgar. Jikapun terpaksa harus
ditayangkan, gambar foto atau video harus disamarkan.
Dalam kode etik jurnalistik biasanya foto dan film yang
sangat dianjurkan untuk tidak disiarkan atau dimuat biasanya yang menjijikkan.
Umpamanya jenazah atau mayat hewan.
Namun batasan sejauh apa menjijikkan, mengerikan,
menakutkan, bisa dinterpretasikan oleh kebijakan redaksi masing-masing.
Tetapi, tidak berarti fotografer harus berhenti memotret di
lapangan. Bisa jadi, karyanya akan menjadi dokumentasi sejarah. Dan akan
memberikan pemahaman yang lebih komprehensif atas fakta sebuah peristiwa akan
datang.
Dalam meliput sebuah peristiwa kekerasan, khususnya
terorisme, harus tetap mengutamakan keselamatan diri si peliput. Selain tidak
mengumbar modus operandi aksi teror, pesan-pesan verbal pelaku aksi teror tidak
selayaknya disajikan secara vulgar kepada masyarakat.
Republika 24 Januai 2016