Berapa banyak pasangan suami istri yang menjadikan harta
sebagai tujuan utama. Bangun karena harta, lelah pun karena harta. Seolah
berdahaga lama, yang tak berkesudahan. Melabrak syariat dengan menonjolkan hawa
nafsu dalam dunia riba, adalah segelintir potret yang mewarnai kehidupan kaum
muslimin hari ini.
Siapa yang tak mengidamkan sebuah rumah milik sendiri, bebas
ngontrak di sepanjang usia pernikahan. Bahkan, memiliki rumah menjadi sebuah
kebutuhan yang prioritas dalam berumah tangga. Patut menjadi renungan, “Untuk
apa kita memiliki rumah?” Untuk melindungi keluarga dari terik matahari dan
dinginnya malam juga menghidupkan keluarga gemar beribadah di antara tujuan
memiliki rumah idaman.
Tak mesti luas nan megah, plus terbelit riba dalam
pengurusan kepemilikannya. Batin merintih dalam silau dunia yang menipu, lagi
melenakan angan makin panjang. Bahkan meski rumah sempit, tetap bisa
melapangkan para penghuninya. Sebab di sana ada rasa syukur terhadap apa yang
dimiliki dalam sebatas genggaman, saling bahu-membahu dalam urusan
dunia-akhirat.
Belajar kebersahajaan hidup dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Sebuah ilustrasi yang membawa pikiran mundur menembus waktu.
Melewati setiap fragmen sejarah yang selama ini hanya bisa dibaca melalui
lembaran-lembaran. Air mata pun tak terbendung.
Berdinding tanah liat, beratapkan daun kurma, berbantal
jerami, lagi berbilik sempit. Tangis Abdullah bin Mas’ud ketika melihat gurata
tikar kasa yang membekas di tubuh Rasulullah. Dalam kesederhanaan itu,
Rasulullah berucap, “Baiti jannati” rumahku surgaku.
Maka semestinya, mencukupkan dengan apa yang dimiliki, tentu
lebih baik dan bermakna dibandingkan dengan membangun bangunan menjulang tinggi
tapi terasa hambar dari nilai-nilai ukhrawi.
Sumber:
SedekahPlus, Edisi 25 Tahun III, Februari 2016