Bahaya Virus Zika

Gejala Zika yang Mendunia

Belakangan ini masyarakat dunia dihebohkan dengan virus zika yang kasusnya banyak di Brasil dan meluas ke lebih dari 20 negara. Larangan disana, salah satunya kepada wanita untuk menunda kehamilan selama vaksinasinya belum ditemukan. Diduga, infeksi zika pada ibu hamil berkaitan dengan bayi lahir dalam keadaan mikrosefalia (otak bayi mengecil).

Jumlah pasien terinfeksi zika di Brasil dan Kolombia paling banyak dan kasus anak lahir dengan mikrosefalia meningkat. Di Brasil, bayi dengan mikrosefalia mencapai 4.793 orang. Sebanyak 17 di antaranya positif terinfeksi virus zika.

Namun, kaitan virus zika dan mikrosefalia belum tentu benar dan harus dilakukan penelitian lebih lanjut.

Mikrosefalia merupakan kelainan neurologis pada bayi saat dalam kandungan dan belum tentu berhubungan dengan virus zika.

Saat ini, WHO bahkan masih mengklasifikasikan ebola sebagai penyakit yang berbahaya, sedangkan zika belum tentu masuk kategori itu. Zika merupakan virus ringan, tidak sampai membuat orang meninggal dunia, akan tetapi patut untuk mewaspadai virus ini.

Zika ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Virus ini ditemukan pada 1947 pada seekor monyet di hutan Uganda yang kemudian ditularkan ke manusia lewat gigitan nyamuk.
Infeksi virus ini, mirip dengan gejala demam berdarah atau DBD. Gejalanya ringan dan dapat sembuh seiring meningkatnya kekebalan tubuh manusia.

Pasien-pasien dengan terinfeksi virus zika langsung diisolasi di ruangan khusus, sehingga tidak menulari orang lain.

Virus zika yang marak di Brasil, bukan dari Afrika, melainkan dari Asia. Infeksi zika juga ditularkan lewat donor darah, ASI, air liur penderita, bahkan pada pasien HIV-AIDS juga dapat ditemukan transmisi virus zika.

Ciri khusus pasien virus zika adalah mata memerah pekat, konjungtivitas pada kulit sehingga memerah dan muncul bercak merah (rash).

Sebanyak 85,7 persen selalu ada rash pada pasien virus zika. Bila dilakukan pemeriksaan laboratorium melalui sperma dan urin, bisa ditemukan leucopenia dengan monositis dan demam dengue, namun tidak seberat DBD.

Republika 19 Februari 2016

Related Posts
Previous
« Prev Post