Ada salah persepsi kala kita mendengar kata tawakal. Tawakal
kadang identic dengan menyerahkan segala sesuatunya tanpa adanya usaha sedikit
pun.
Padahal tawakal adalah sesuatu yang proses awalnya dimulai
dengan sebuah ikhtiar. Tak sebatas ikhtiar biasa, namun sebenar-benarnya
ikhtiar. Jika tawakal telah melalui proses yang benar, maka tawakal akan
memiliki fadilah sebagai sebab turunnya rezeki.
Para ulama telah menjelaskan makna tawakal secara jelas. Di
antaranya Imam Al-Ghazali. Ia berkata, “Tawakal adalah penyandaran hati hanya
kepada wakil (yang ditawakali) semata.”
Berkomentar tentang tawakal, Al-Mulla Ali Al-Qari berkata,
“Hendaklah kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam
ini kecual Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik makhluk maupun rezeki,
pemberian atau pelarangan, bahaya dan manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit
atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang
maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah.”
Jika orang beriman melakukan tawakal dengan sebenar-benar
tawakal, maka ia akan menjadi jalan bagi terbukanya pintur rezeki. Dalam sebuah
hadis dari Umar bin Khattab, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar
tawakal, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana rezeki burung-burung.
Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam
keadaan kenyang.” (HR. Ahmad)
Kita lihat tawakal erat kaitannya dengan keyakinan yang utuh
dan sangat kuat hanya kepada Allah Ta’ala. Tidak ada yang bisa menggaransi
burung yang terbang pagi hari jika ia pasti akan mendapatkan rezeki kecuali
hanya Allah saja. Maka ia keluar dari sarangnya tanpa perasaan khawatir dan pulang
dalam keadaan kenyang.
Keyakinan tinggi ini tidak boleh dilepaskan dari sikap
tawakal. Jadi tawakal bukanlah penyerahan diri tanpa disertai apapun. Tawakal
adalah keyakinan kuat itu sendiri. Allah Ta’ala berjanji barang siapa yang
bertawakal dengan sungguh-sungguh, Dia akan mencukupi segala kebutuhannya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan barang siapa bertawakal kepada
Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Ayat di atas jangan sampai dipahami secara terbalik. Jika
Allah Ta’ala sudah menjamin dengan tawakal manusia akan diberi kecukupan, lalu
apa gunanya bekerja dan usaha?
Imam Ahmad memberikan sifat orang-orang yang seperti itu
sebagai orang yang tidak mengenal ilmu. Dalam hadis yang mengumpamakan tawakal
manusia sebagaimana tawakalnya seekor burung, justru termaktub jelas tentang
ikhtiar.
Burung tersebut bukan tinggal di sarang dan tidak melakukan
apa-apa. Namun ia melakukan usaha, dengan cara keluar dari sarang pada pagi
harinya dan pulang pada sore harinya.
Tawakal adalah keyakinan saat berangkat menuju pekerjaan.
Bahwa Allah pasti akan mencukupkan rezekinya. Sehingga dia tidak memiliki kekhawatiran
sedikit pun. Lalu ia bekerja dengan kondisi yang nyaman dan optimal. Oleh
karenanya, rezeki yang Allah jaminkan tadi akan datang dengan deras.
Imam Ahmad juga pernah berkata, “Para sahabat juga berdagang
dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita.”
Republika 15 Januari 2016