Membiasakan Kebaikan

Membumikan Kebaikan

Betapa terperanjatnya Abu Bakar. Saat ia bersua dengan Hanzalah, sahabat nabi itu menilai dirinya telah menjadi orang munafik.

Suatu ketika Abu Bakar bertemu dengan Hanzalah di jalan. Abu Bakar pun bertanya kabar, “Apa akabar wahai Hanzalah?”

“Hanzalah telah munafik!” jawab Hanzalah tegas. Sontak perkataan sahabat Nabi itu mengagetkan Abu Bakar. “Maha Suci Allah! Mengapa kamu berkata demikian wahai Hanzalah!” Tanya Abu Bakar.

Ia pun menjawab, “Bagaimana saya tidak jadi seperti orang munafik! Apabila kita berada di sisi Nabi Muhammad, baginda mengingatkan kita tentang neraka dan surga sehingga seolah-olah kita dapat melihatnya dihadapan mata kita. Tetapi, apabila kita beredar meninggalkan baginda, kita telah dilalaikan dengan anak dan harta benda kita, sehingga kita melupakan peringatan yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad itu.”

Kita paham lanjutan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tersebut. Abu Bakar memiliki kegundahan yang sama. Padahal, kita juga paham bagaimana level keimanan seorang Abu Bakar.
Kegundahan yang dirasakan Hanzalah dan Abu Bakar seharusnya kita rasakan juga. Betapa saat berlinang air mata kala muhasabah, hati kita begitu menyesal dengan dosa-dosa. Saat kita lanjutkan iktikaf di masjid, hati kita begitu tertaut dengan rumah Allah.

Saat waktu fajar menjelang, kita tak ketinggalan dua rakaat sebelum Subuh. Saat imam shalat subuh mengundangkan takbiratulihram, kita sudah berdiri di shaf paling depan. Seusai salam, kita mengambil mushaf. Tilawah satu juz pun khatam kurang dari satu jam.

Saat matahari mulai terbit, kita masih bersimpuj di masjid. Lalu dengan tenang mendirikan dua rakaat shalat syuruq. Semua kebaikan rasanya terlalu sayang kita lepaskan hari itu.

Namun, saat kita pulang ke rumah. Kembali ke tumpukan tugas-tugas di kantor. Bercengkrama dengan klie di gedung-gedung pencakar langit. Menandatangani perjanjian kontrak miliaran rupiah. Kita lupa bagaimana lezatnya malam-malam saat muhasabah itu.

Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan amal, berkurang dengan maksiat. Menjadi wajar jika memang siklus keimanan seseorang adakalanya bertambah, tak pelak kerap kali turun.

Namun, alangkah baiknya jika kita punya alarm waspada seperti Hanzalah. Ia tak melakukan maksiat. Justru mungkin sesuatu yang dianjurkan untuk berkumpul dengan keluarga. Namun ia takut. Jangan-jangan riang gembiranya ia bercengkrama dengan keluarga melalaikannya dari mengingat Allah.

Jangan pula keimanan kadang turun menjadi justifikasi jika seseorang sah-sah saja melakukan tindakan maksiat. Manusia memang tempat salah dan khilaf. Namun, bukan sebuah dosa yang terencana. Iman memang adakalanya turun. Memberi ruang bagi sifat kemanusiaan kita.

Namun, alangkah lebih baik jika kita bisa membumikan kebaikan sehingga amal kita terus menanjak. Membiasakan diri dengan kebaikan memang tak mudah. Butuh perjuangan ekstra. Namun, hal itu bukan suatu yang mustahil.

Bawalah lingkungan masjid itu dalam keseharian. Ciptakan kondisi lingkungan dari mulai rumah hingga aktivitas di luar, seperti masjid. Ada nuansa pengingat setiap kali kita ingin keluar jalur. Tanamkan kesadaran kepada anggota keluarga. Sehingga, mereka menjadi pengingat yang senantiasa hadir.

Meski tak ada salahnya pula kita sejenak memberi ruang pada keinginan, sebatas bukan hal yang makruh, apalagi diharamkan. Karena meski kita ingin terus berada dalam kondisi yang serba ideal dalam keimanan, ada hak-hak jiwa yang harus ditunaikan.


Republika 8 Januari 2016

Related Posts
Previous
« Prev Post