Betapa terperanjatnya Abu Bakar. Saat ia bersua dengan
Hanzalah, sahabat nabi itu menilai dirinya telah menjadi orang munafik.
Suatu ketika Abu Bakar bertemu dengan Hanzalah di jalan. Abu
Bakar pun bertanya kabar, “Apa akabar wahai Hanzalah?”
Ia pun menjawab, “Bagaimana saya tidak jadi seperti orang munafik!
Apabila kita berada di sisi Nabi Muhammad, baginda mengingatkan kita tentang
neraka dan surga sehingga seolah-olah kita dapat melihatnya dihadapan mata
kita. Tetapi, apabila kita beredar meninggalkan baginda, kita telah dilalaikan
dengan anak dan harta benda kita, sehingga kita melupakan peringatan yang telah
disampaikan oleh Nabi Muhammad itu.”
Kita paham lanjutan dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim tersebut. Abu Bakar memiliki kegundahan yang sama. Padahal, kita juga
paham bagaimana level keimanan seorang Abu Bakar.
Kegundahan yang dirasakan Hanzalah dan Abu Bakar seharusnya
kita rasakan juga. Betapa saat berlinang air mata kala muhasabah, hati kita
begitu menyesal dengan dosa-dosa. Saat kita lanjutkan iktikaf di masjid, hati
kita begitu tertaut dengan rumah Allah.
Saat waktu fajar menjelang, kita tak ketinggalan dua rakaat
sebelum Subuh. Saat imam shalat subuh mengundangkan takbiratulihram, kita sudah
berdiri di shaf paling depan. Seusai salam, kita mengambil mushaf. Tilawah satu
juz pun khatam kurang dari satu jam.
Saat matahari mulai terbit, kita masih bersimpuj di masjid.
Lalu dengan tenang mendirikan dua rakaat shalat syuruq. Semua kebaikan rasanya
terlalu sayang kita lepaskan hari itu.
Namun, saat kita pulang ke rumah. Kembali ke tumpukan
tugas-tugas di kantor. Bercengkrama dengan klie di gedung-gedung pencakar
langit. Menandatangani perjanjian kontrak miliaran rupiah. Kita lupa bagaimana
lezatnya malam-malam saat muhasabah itu.
Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan amal,
berkurang dengan maksiat. Menjadi wajar jika memang siklus keimanan seseorang
adakalanya bertambah, tak pelak kerap kali turun.
Namun, alangkah baiknya jika kita punya alarm waspada
seperti Hanzalah. Ia tak melakukan maksiat. Justru mungkin sesuatu yang
dianjurkan untuk berkumpul dengan keluarga. Namun ia takut. Jangan-jangan riang
gembiranya ia bercengkrama dengan keluarga melalaikannya dari mengingat Allah.
Namun, alangkah lebih baik jika kita bisa membumikan
kebaikan sehingga amal kita terus menanjak. Membiasakan diri dengan kebaikan
memang tak mudah. Butuh perjuangan ekstra. Namun, hal itu bukan suatu yang
mustahil.
Bawalah lingkungan masjid itu dalam keseharian. Ciptakan
kondisi lingkungan dari mulai rumah hingga aktivitas di luar, seperti masjid.
Ada nuansa pengingat setiap kali kita ingin keluar jalur. Tanamkan kesadaran
kepada anggota keluarga. Sehingga, mereka menjadi pengingat yang senantiasa
hadir.
Meski tak ada salahnya pula kita sejenak memberi ruang pada
keinginan, sebatas bukan hal yang makruh, apalagi diharamkan. Karena meski kita
ingin terus berada dalam kondisi yang serba ideal dalam keimanan, ada hak-hak
jiwa yang harus ditunaikan.
Republika 8 Januari 2016