Ushul fikih adalah media, bukan tujuan.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, segala
persoalan yang berhubungan dengan hukum langsung dijawab oleh Rasulullah
berdasarkan tuntutan wahyu yang diturunkan
Allah Ta’ala kepadanya. Namun, ketika Islam semakin berkembang ke
berbagai penjuru dunia, masyarakat muslim menghadapi tantangan peradaban yang
semakin kompleks. Banyak masalah hukum yang mereka hadapi pada waktu itu tidak
ditemukan jawabannya, baik di dalam Al-Quran maupun hadis.
Ushul fikih lantas muncul sebagai bentuk respons doktrin
peradaban Islam untuk tantangan tersebut. Ijtihad para ulama memainkan peranan
penting di situ, terutama dalam mencari jawaban berbagai persoalan yang belum
pernah mereka temukan sebelumnya. Sejak itulah, ijma (kesepakatan ulama) dan
qiyas (analogi) dikenal sebagai sumber hukum Islam setelah Al-Quran dan hadis.
Secara sederhana, ushul fikih dapat diartikan sebagai ilmu
yang membahas tentang prinsip-prinsip pengambilan hukum Islam. Dalam bahasa
lainnya, ushul fikih adalah ilmu yang menjelaskan berbagai metode penelitian
yang membantu manusia dalam memahami Al-Quran dan hadis secara sistematis.
Sebagai muaranya, ilmu ini mengajarkan kita cara untuk
memperoleh putusan yang tepat mengenai suatu perkara, apakah ia termasuk haram,
makruh, wajib, mustahab, atau mubah.
Proses memahami Al-Quran dan hadis sebagai sumber-sumber
primer hukum Islam dan penggaliannya secara sistematis itu disebut ijtihad.
Sementara, orang yang melakukan ijtihad itu disebut mujtahid. Namun dalam
beberapa kasus, hasil ijtihad satu mujtahid dengan yang lainnya bisa saja
berbeda-beda.
Namun, perbedaan tersebut bukan berarti para mujtahid itu
membuat kesimpulan hukum sekehendak hatinya saja, melainkan melalui proses pemahaman
yang mendalam dan pendidikan dari ulama-ulama terdahulu.
Para ulama besar memiliki pendapat masing-masing tentang
definisi ushul fikih. Namun yang
populer, ushul fikih didefinisikan sebagai cara pengambilan hukum-hukum yang
berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i.
Embrio
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sebenarnya
telah memberikan gambaran mengenai konsep ijtihad paling sederhana dalam ushul
fikih semasa hidupnya. Pada sebuah riwayat disebutkan, sebelum mengutus Muadz
bin Jabal untuk berdakwah di Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sempat
bertanya pada sahabatnya itu.
“Bagaimana engkau akan memutuskan sebuah persoalan ketika
timbul pertanyaan (dari orang-orang Yaman)?”
Muadz menjawab, “Aku akan menjawabnya sesuai dengan
Al-Quran.” Nabi lalu bertanya lagi,
“Bagaimana jika engkau tidak bisa menemukan
jawabannya di dalam Al-Quran?”
“Aku akan menjawabnya sesuai dengan sunah.”
“Dan jika engkau tidak menemukan jawabannya, baik di dalam
sunah maupun di Al-Quran.?”
“Aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk memberikan
penilaianku sendiri atas masalah itu.”
Kemudian Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
membimbing utusan nabi-Nya (Muadz) kepada langkah yang diridhai nabi-Nya.”
Cara yang ditempuh Muadz dalam memutuskan persoalan hukum
itu, kemudian diikuti oleh sahabat-sahabat yang lain dan para ahli hukum Islam
yang hidup sesudahnya. Ijtihaad para ulama adalah hasil pemahaman mereka yang
terbaik terhadap Al-Quran dan sunah.
Awal mula kemunculan ushul fikih sebagai disiplin ilmu
tersendiri tidak dapat dilepaskan dari sejarah penulisan Al-Quran dan hadis
yang praktiknya sudah dimulai sejak era sahabat.
Satu abad setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, semua sahabat dan para tabiin yang mempelajari Islam telah meninggal
dunia. Generasi muslim berikutnya yang disebut tabiut tabiin memikul tugas yang
tak kalah beratnya dari para pendahulu mereka, yaitu menggali, mengumpulkan,
dan memilah-milah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Periode ini merupakan
awal dari munculnya ilmu hadis.
Keberadaan ilmu Al-Quran, ilmu hadis, menjadi sumber yang
paling penting dalam pengembangan ushul fikih pada masa-masa selanjutnya.
Republika 26 April
2015