Beliau bernama lengkap Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin
Hambal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin
Anas bin Auf bin Qasath bin Mazin bin Syaiban bin Dzahl bin Tsa’labah bin
Ukabah bin Sha’b bin Ali bin Bakar bin Wa’il bin Qasith bin Hanab bin Qushay bin
Da’mi bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazzar bin Ma’d bin Adnan. Beliau
lahir di Baghdad pada bulan Rabiul Awal 164 Hijriah.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Imam Ahmad mulai mencari hadits ketika berumur 16 tahun. Sejak
kecil Imam Ahmad sudah menampakkan tanda-tanda kelebihannya dengan menguasai
berbagai disiplin ilmu dan banyak menghafal hadits. Beliau menempuh rihlah (perjalanan
untuk mencari ilmu) ke berbagai Negara, seperti ke Kufah, Bashrah, Hijaz,
Makkah, Madinah, Yaman, Syam, Tsaghur, Maroko, Aljazair, Persia, Khurasan dll.
Setelah melakukan rihlah yang panjang ini, akhirnya Imam Ahmad
pun kembali lagi ke Baghdad hingga pada masanya, dia menjadi ulama terkemuka.Imam
Ahmad berguru kepada Abdurrazaq di Shan’a daerah Yaman pada tahun 197 Hijriah
dan akhirnya menemani Yahya bin Ma’in. Yahya berkata, “Ketika kami akan pergi
berguru pada Abdurrazaq di Yaman, maka terlebih dahulu menunaikan haji. Disaat
aku sedang thawaf, tiba-tiba aku melihat Abdurrazaq juga sedang berthawaf
kemudian aku mendekatinya dan mengucapkan salam padanya. Setelah aku
mengenalkan Ahmad bin Hambal kepada Abdurrazaq, maka Abdurrazaq berkata kepada
Ahmad bin Hambal, “semoga Allah memberikan umur panjang dan menetapkan
langkahmu dalam kebaikan.
Sesungguhnya telah sampai kabar tentang dirimu yang
kesemuannya adalah kabar baik.” Aku (Yahya) katakan kepada Ahmad bin Hambal,
‘Allah telah mendekatkan apa yang menjadi tujuan kita.
Apabila kita meminta
hadits riwayat Abdurrazaq disini, maka perbekalan kita tentu tersisa banyak
daripada kita menemuinya dirumahnya yang akan menelan perjalanan satu bulan.”
Ahmad bin Hambal lalu menjawab, “Demi Allah aku tidak akan mengubah niatku.
Dari Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari Abdurrazaq di
Shan’a, Kita harus menempuh perjalanan untuk bertemu Abdurrazaq di sana.”
Akibat perjalanan yang jauh itu, maka Ahmad akhirnya kehabisan bekal, namun
ketika kami diberi uang Dirham dalam jumlah yang banyak oleh Abdurrazaq, maka
Ahmad menolaknya; ketika uang itu diberikan Abdurrazaq dalam bentuk pinjaman,
Ahmad pun masih tetap tidak mau menerimanya;lalu kami tawarkan uang bekal kami
kepada Ahmad, akan tetapi dia pun tidak mau menerima. Pada saat kami perhatikan
bagaimana Ahmad memenuhi kebutuhannya, ternyata kami temukan dia telah bekerja
dan makan dari hasil kerja tersebut.”
Imam Ahmad memiliki hafalan yang kuat sebagaimana diceritakan
Abu Zur’ah Ar-Razi, beliau berkata, “Ahmad bin Hambal telah hafal sebanyak satu
juta hadits.” Ketika hal itu ditanyakan kepada Ahmad, “Bagaimana engkau dapat
menghafalnya?” Maka Ahmad menjawab, “Aku selalu mempelajarinya dengan
menjadikannya beberapa bab.”
- Zuhudnya
Shaleh bin Ahmad bin Hambal berkata, “Ahmad bin Hambal sering
kali membuat adonan tanpa cuka. Aku sering melihatnya memakan roti keras dan
kasar yang dikibas-kibaskan karena terkena debu. Roti itu lalu diletakkan di
panci besar lalu dia menuangkan air kedalamnya agar lembek. Setelah lembek, dia
memakannya dengan garam. Musa bin Hammad Al-Barbari berkata, “Al-Hasan bin
Abdil Aziz membawa warisannya dari Mesir kepadaku sebanyak seratus ribu Dinar.
Al-Hasan juga membawa untuk Ahmad bin Hambal tiga kantong dengan setiap
kantongnya berisi seribu Dinar. Al-Hasan berkata kepada Ahmad bin Hambal,
“Wahai Abu Abdillah, uang ini adalah dari harta warisan yang halal. Ambillah
untuk memenuhi kebutuhanmu!” kemudian Ahmad menjawab, “Aku tidak membutuhkannya
karena aku masih berkecukupan.” Pada akhirnya, Ahmad bin Hambal tetap menolak
dan tidak mau menerima uang tersebut sedikit pun.
Ishaq bin Hani’ berkata, “Aku keluar pagi-pagi untuk meminta
Ahmad bin Hambal mengajarkan kepadaku kitab karyanya Az-Zuhd.
Kemudian aku memasang karpet dan bantal sebagai tempat duduknya. Ketika Ahmad
melihat karpet dan bantal yang aku pasang, maka dia bertanya kepadaku, “Apakah
ini?” Aku menjawab, “Ini adalah tempat dudukmu.” Lalu dia berkata, “Ambil
karpet dan bantal itu. Berbicara zuhud harus dengan zuhud.” Setelah aku lipat
karpet tersebut, baru dia duduk diatas tanah.
Al-Ulaimi berkata, “Gemerlap dunia telah menghampirinya, tetapi
dia tidak menghiraukannya, kedudukan ditolak dan harta benda pun tidak
diinginkannya. Imam Ahmad bin Hambal menolak itu semua karena dirinya merasa
cukup.
Dalam kesederhanaannya dia berkata, “Harta sedikit bisa
mencukupi dan harta banyak tidak bisa mencukupi. Sesungguhnya makanan itu
bukanlah makanan kecuali yang dimakan, pakaian juga bukan pakaian dan hari-hari
didunia ini teramat sedikit dan pendek sekali.”
- Budi Pekerti dan Akhlaknya
Abu Dawud As-Sijistani menceritakan bahwa Ahmad bin Hambal tidak
pernah turut campur terlalu mendalam ketika membahas masalah duniawi seperti
orang-orang pada umumnya. Akan tetapi, ketika dipaparkan masalah agama
dihadapannya, maka dia akan angkat bicara dan tidak pernah tinggal diam.
Halaqah pengajian Ahmad bin Hambal adalah pengajian akhirat yang
disana tidak akan dibahas masalah keduniawian. Aku belum pernah melihat walau
sekali saja Imam Ahmad berbicara masalah dunia.” Abu Nu’aim dengan sanadnya
dari Al-Abbas bin Muhammad Ad-Durri dari Ali bin Mirarah, dia berkata, “Ibuku
mengalami lumpuh sekitar dua puluh tahun lamanya. Pada suatu hari, ibuku
berkata kepadaku, “Pergilah kamu ketempat Ahmad bin Hambal dan mintalah
kepadanya agar dia mendoakan kesembuhanku,” sehingga aku pun pergi kerumahnya.
Ketika aku sudah sampai didepan rumahnya, aku lalu mengetuk pintunya, sementara
Ahmad bin Hambal sedang berada diruangan khususnya, dari dalam rumahnya dia
bertanya, “Siapa yang ada dibalik pintu?” Aku menjawab, “Aku salah seoramg
tetanggamu.” Aku sampaikan kepadanya bahwa ibuku adalah seorang yang lumpuh, ia
menyuruhku agar aku kesini untuk memintakan doa darimu.” Setelah itu, aku
mendengar suara Imam Ahmad seperti orang yang sedang marah, dia berkata, “Kami
lebih membutuhkan doa darimu.” Karenanya, aku lalu bergegas pergi meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi, Belum lagi aku beranjak melangkahkan kakiku,
tiba-tiba muncul seorang perempuan tua dari rumah berkata, “Apakah kamu orang
yang baru saja berkata dengan Ahmad bin Hambal?” Aku menjawab, “Benar.” Lalu
perempuan tua itu berkata, “Ketika kamu meninggalkannya, dia sudah mendoakan
ibumu.” Mendengar ucapan perempuan tua itu, seketika aku pulang kerumahku.
Ketika aku hendak mengetuk pintu, maka aku dapati ibuku sudah bisa berjalan
dengan kedua kakinya bahkan sudah bisa membukakan pintu. Ibuku berkata, “Allah
benar-benar memberiku kesehatan.”
- Keteguhannnya mengikuti Sunnah
Imam Ahmad berkata, “Aku tidak pernah menulis satu pun hadits
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kecuali hadits itu
sudah aku amalkan. Ketika aku menjumpai hadits “sesungguhnya Rasulullah
pernah berobat dengan berbekam dan memberi upah Abu Thaibah satu Dinar”
maka, aku pun telah mempraktekkannya dengan memberi upah satu Dinar kepada
tukang bekam.
- Cobaan yang menimpanya
Telah berlaku sunnatullah bagi manusia
bahwasanya Allah akan memberikan ujian kepada manusia untuk membuktikan
keteguhan keimanan seseorang, sehingga benarlah orang-orang yang benar dan
dustalah para pembohong terhadap apa yang mereka katakan. Allah Ta’ala berfirman,
artinya: “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi?” dan
sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sessungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-Ankabut: 2-3)
Rasulullah pernah ditanya tentang manusia yang paling hebat dan
dahsyat cobaannya, maka beliau bersabda, artinya: “Para nabi, kemudian
orang yang dibawahnya dan dibawahnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah)
Secara silih berganti dan berurutan, Ahmad bin Hambal menghadapi
cobaan dari empat penguasa sekaligus. Diantara keempatnya ada yang mengancam
dan meneror; ada yang memukul dan memasukannya ke penjara; ada yang menggiring
dan berlaku kasar kepadanya; dan yang terakhir mengiming-imingi kekuasaan dan
harta kekayaan. Akan tetapi, semua itu justru membuat Ahmad bin Hambal
bertambah tegar dan tetap pada pendirian semula serta bertambah kuatlah
keimanan dan keyakinannya.
Al-Ulaimi berkata, “Ketika Al-Makmun Abu Ja’far bin Harun
Ar-Rasyid mulai memerintah, tepatnya dimulai dari bulan Muharram, tahun 198
Hijriyah, kaum Mu’tazilah mulai bersuara kembali dan mempengaruhi Al-Makmun
untuk meninggalkan jalan yang benar menuju jalan yang bathil.
Mereka memperindah perkataan mereka yang hina dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an
itu adalah makhluk.
Akibatnya, Al-Makmun pun mengikuti pendapat mereka.
Menjelang akhir usia Al-Makmun, tepatnya sewaktu pasukan Al-Makmun keluar dari
Baghdad hendak menyerang tentara Romawi, pada saat itulah, Al-Makmun menulis
surat pada Ishaq bin Ibrahim yang pada saat itu menjabat sebagai perwira
tertinggi tentaranya agar mengajak kepada seluruh rakyatnya untuk mengikuti
golongannya yang menganggap Al-Qura’an adalah makhluk. Namun, orang-orang
menolak seruan tersebut. Akhirnya, mereka pun menempuh jalan kekerasan dan
paksaan sehingga kebanyakan dari orang-orang tersebut pun mengikutinya dengan
terpaksa. Akan tetapi, Ahmad bin Hambal tetap menolaknya sehingga Al-Makmun
semakin geram dan marah. Kemudian Ahmad bin Hambal dibawa dengan unta untuk
dihadapkan kepada khalifah Al-Makmun. Ahmad bin Hambal lalu diseret untuk
dihadapkan kepada khalifah Al-Makmun.
Dalam kesempatan itu, Al-Makmun sudah menetapkan bagi Imam Ahmad
untuk dibunuh kalau dia masih tidak mau menerima pendapat bahwa Al-Qur’an
adalah makhluk. Kemudian Imam Ahamad dimasukkan penjara guna menunggu kapan
hukuman mati yang ditetapkan Al-Makmun untuk dilaksanakan. Sewaktu dalam
perjalanan kembali menuju terali besi inilah, Imam Ahmad berdoa agar dirinya
tidak dipertemukan lagi dengan Al-Makmun. Belum lama berselang, sewaktu Imam
Ahmad masih dalam perjalanan, terdengar berita bahwa Al-Makmun telah meninggal.
Sepeninggal Al-Makmun, pemerintahan dilanjutkan oleh
Al-Mu’tashim. Pada masa Al-Mu’tashim ini, Ahmad bin Hambal didera hukuman
dengan cambukan yang pelaksanaannya dilakukan dihadapan Al-Mu’tashim.
Al-Mu’tashim berkata, “Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?” Dia menjawab,
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang qadim dan bukan makhluk,
Allah berfirman: “Dan jika seseorang diantara orang-orang musyrikin itu
meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya is sempat mendengar
firman Allah.” (At-Taubah: 6) Setelah mendengar penjelasan Imam Ahmad
ini, Al-Mu’tashim lalu berkata, “Penjarakan dia.”
Al-Mu’tashim lalu mengeluarkan Imam Ahmad ke dalam kelompok para
ulama ahli Fiqh dan hakim untuk berdebat. Selama tiga hari berdebat, Imam Ahmad
dapat membungkam dan mengalahkan argumen mereka dengan berkata, “Aku adalah
orang berilmu yang belum pernah melihat pendapat ini. Oleh karena itu,
tunjukkanlah kepadaku dalil dari Al-Qur’an dam hadits supaya aku menerima
pendapat kalian.” Al-Mu’tashim lalu memerintahkan pada ajudannya, “Datangkan
kesini algojo ahli cambuk.”
Pada deraan cambuk pertama, Imam Ahmad
mengucapkan, “Bismillah.” Pada cambukkan kedua dia berkata, “La
haula wa la quwwata illa billah.” Pada cambukkan ketiga dia berkata,
“Alqur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk.” Pada deraan cambukkan
keempat, dia berkata dengan mengutip ayat Al-Qur’an, “Katakanlah, “Sekali-kali
tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami.” (At-Taubah:
15) Akibatnya, Al-Mu’tashim memerintahkan agar cambukkan lebih diperkeras lagi.
Sebagian ahli cambuk Al-Mu’tashim berkata, “Celakalah kamu wahai Ahmad, sang
khalifah berdiri diatas kepalamu.” Sedangkan yang lain berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, sesungguhnya Ahmad sedang berpuasa, sedangkan paduka berdiri dibawah
terik matahari!”
Pada saat tidak sadarkan diri, badan Imam Ahmad ditaruh diatas
tikar milik seseorang. Ketika sudah sadar, maka mereka memberikan bubur
kepadanya untuk makan dan minum. Namun Imam Ahmad berkata, “Aku tidak akan
memakan dan meminumnya. Aku tidak ingin membatalkan puasaku.”
Setelah Al-Mu’tashim meninggal, naiklah Abu Ja’far Al-Watsiq
sebagai khalifah. Walaupun Al-Watsiq tidak mendera Imam Ahmad dengan
cambukkkan, akan tetapi dia telah mengasingkan Imam Ahmad. Setelah Al-Watsiq
mangkat, maka naiklah Al-Mutawakkil sebagai khalifah.
Corak kepemimpinan
Al-Mutawakkil ini berbeda dengan para pendahulunya dalam hal akidah. Dia justru
mencela pendahulunya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan melarang
masyarakat memperdebatkan masalah itu. Akibatnya, berkibarlah bendera akidah
Ahlu sunnah dan matilah bid’ah.
Al-Mutawakkil sangat memperhatikan kesejahteraan, memuliakan dan
mengagungkan Ahmad bin Hambal. Abdullah bin Hambal mengkisahkan bahwa telah
datang utusan Al-Mutawakkil kepada Imam Ahmad. Utusan itu memberitahukan bahwa
Al-Mutawakkil mengharap sekali kedatangan Imam Ahmad dan doa restunya. Lalu,
kami keluar bersama dari Baghdad hingga akhirnya menempati rumah yang bagus.
Ketika kami datang, Al-Mutawakkil memperhatikan kedatangan kami dari balik
satir. Para dayang memberitahukan hal itu kepada kami, lalu Imam Ahmad memasuki
rumah dan Al-Mutawakkil berkata pada ibunya, “Wahai ibunda, sekarang alangkah
terangnya rumah ini dengan cahaya.”
Al-Mutawakkil kemudian memberikan baju,
uang dirham dan jubah kepada Imam Ahmad. Namun, Imam Ahmad menyikapi pemberian
itu justru dengan menangis seraya berkata, “Sejak enam puluh tahun aku dapat
selamat dari ini semua. Akan tetapi, dipenghujung usiaku, engkau uji aku dengan
ini.” Imam Ahmad tidak menyentuh pemberian itu. Al-Mutawakkil selalu
mengirimkan uang tunjangan kepada Ahmad bin Hambal, namun Imam Ahmad tidak mau
menerimanya. Akibatnya Al-Mutawakkil berpesan, “Apabila Imam Ahmad tidak mau
menerima hadiah uang ini, maka biarlah ia membagikannya kepada orang yang
berhak menerimanya biarpun ia tidak mengambil uang ini sedikitpun.”
- Meninggalnya
Al-Marwazi berkata, “ Ahmad bin Hambal mulai sakit pada hari
Rabu bulan Rabiul Awal. Dia sakit selama Sembilan hari. Pada saat membolehkan
orang-orang yang membesuknya, orang-orang pun berdatangan secara bergelombang.
Pada malam Jum’at, sakitnya semakin berat dan akhirnya dia dipanggil mengahadap
Penciptanya.” Imam Ahmad meninggal pada bulan Rabiul Awal 241 Hijriyah.
- Kata-kata mutiara darinya.
Imam Ahmad berkata, “Segala kebaikan yang bersifat penting, maka
lekaslah Anda kerjakan sebelum datang pemisah antara dirimu dan kebaikan
tersebut.” Beliau berkata, “Sedikit didunia sedikit hisabnya.” Dia juga
berkata, “Orang boleh berbangga terhadapku apabila ia menghabiskan hartanya
untuk menanamkan Al-Qur’an dalam dadanya.” Dari Abd Ash-Shamad bin Sulaiman dia
berkata, “Aku pernah bermalam dirumah Ahmad bin Hambal sehingga dia menyiapkan
air shalat untukku.
Ketika datang Shubuh dan dia melihat aku tidak menggunakan
air tesebut, maka dia berkata, “Bagaimana ulama ahli hadits tidak melakukan
wirid di malam hari!” Lalu kujawab, “Aku adalah seorang musafir.” Dia lalu
berkata lagi, “Walaupun kamu seorang musafir! Sesungguhnya Masruq berhaji dan
tidak tidur kecuali dalam keadaan sujud.”
(60 Biografi Ulama Salaf Syaikh Ahmad Farid, Pustaka Al-Kautsar)