Musibah yang datang bertubi-tubi ini tidak mungkin hanya datang
akibat perubahan alam semata. Ada kekuatan yang jauh lebih besar yang mengatur
datangnya berbagai musibah ini agar kita merenung dan instropeksi akan
keagungan kekuatan-Nya yang dahsyat. Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Bijaksana
dan Maha Mengetahui terhadap semua yang dilaksanakan dan ditetapkan.
Sebagaimana juga Allah Ta’ala Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui terhadap semua
syari’at dan semua yang diperintahkan. Allah Ta’ala menciptakan tanda-tanda apa
saja yang dikehendaki-Nya dan menetapkannya untuk menakut-nakuti hamba-Nya.
Mengingatkan mereka dari perbuatan syirik, melanggar perintah dan perbuatan yang
dilarang. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, artinya:
“Dan tidaklah Kami memberi tanda-tanda itu melainkan untuk
menakut-nakuti.” (QS. Al Israa’: 59).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Firman-Nya yang lain:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri , sehingga jelaslah bagi
mereka bahwa Al Qur’an itu benar. Dan apakah Rabb-mu tidak cukup (bagi kamu),
bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (QS.
Fushilat: 53).
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah (wahai Muhammad), “Dia (Allah) Maha Berkuasa untuk
mengirimkan azab kepada kalian, dari atas kalian atau dari bawah kaki kalian,
atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan),
dan merasakan kepada sebagian kalian keganasan sebahagian yang lain.” (QS.
Al An’am: 65).
Banyaknya musibah yang terjadi pada saat ini yang menimbulkan
bahaya dan berbagai macam penderitaan disebabkan oleh perbuatan syirk dan
maksiat yang merajalela dilakukan manusia. Allah Ta’ala berfirman,
artinya:
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh
perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As Syuura: 30).
“Nikmat apapun yang kamu terima, maka itu dari Allah, dan
bencana apa saja yang menimpamu, maka itu karena (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS.
An Nisaa’: 79).
Tentang umat-umat terdahulu, Allah Ta’ala berfirman,
artinya:
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya,
maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, dan
diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan
diantara mereka ada yang Kami benamkan kedalam bumi dan diantara mereka ada
yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka ,
akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al
Ankabut: 40).
Maka wajib bagi setiap muslim yang mukallaf agar bertaubat
kepada Allah, konsisten diatas Dien-Nya. Waspada terhadap semua
yang dilarang, yaitu berupa perbuatan syirik dan maksiat.
Allah Ta’ala berfirman,
artinya:
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.” (QS. Al A’raaf; 96).
Dari berbagai ayat ini, maka jelas bahwa banyaknya musibah
diakibatkan karena perbuatan manusia yang banyak melakukan perbuatan maksiat,
kesyirikan, merusak alam, melalaikan perintah Allah dan tidak menjadikan
syari’at-syari’at Allah sebagai sumber hukum. Sementara berkah Allah akan
datang jika banyak manusia yang beriman kepada Allah, melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sikap ketika menghadapi musibah
Allah Ta’ala berfirman, artinya:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang
sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS, Al Baqarah: 155-157).
Kalimat diatas (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)
merupakan obat paling mujarab dan paling bermanfaat bagi orang yang tertimpa
musibah, baik didunia maupun diakhiratnya. Kalimat diatas mengandung dua
prinsip agung, jika seseorang hamba benar-benar memahami kedua prinsip itu, ia
akan terhibur dari musibah yang menimpanya.
Pertama, bahwa seorang hamba beserta keluarga dan
hartanya benar-benar merupakan milik Allah Ta’ala. Milik Allah
itu jelas diserahkan kepada hamba sebagai pinjaman, maka jika Allah mengambil
kembali pinjaman itu darinya, kedudukannya seperti pemberi pinjaman yang
mengambil barang yang dipinjam.
Kedua, tempat kembali seorang hamba adalah Allah, tuannya yang sejati.
Ia pasti meninggalkan dunia dibelakangnya dan menghadap Rabb-nya seorang diri,
sebagaimana ketika pertama kali ia diciptakan-Nya, tanpa ditemani keluarga,
harta dan kerabatnya, melainkan hanya ditemani oleh amal kebajikan dan amal
kejahatan. Jika demikian asal muasal seorang hamba, apa yang ditinggalkannya
dan akhir hidupnya, bagaimana ia bisa bergembira dengan sesuatu yang ada atau
berduka atas segala sesuatu yang tiada. Jadi, berpikir tentang asal muasal dan
akhir kehidupan merupakan terapi paling mujarab terhadap penyakit ini.
Salah satu terapi meredam musibah adalah, hendaknya ia
benar-benar mengetahui bahwa apapun yang ditakdirkan menimpa dirinya, tidak
mungkin untuk dihindari, sebaliknya apapun yang telah ditakdirkan terluput
darinya, tidak mungkin menimpanya. Allah Ta’ala berfirman, artinya:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa dibumi dan (tiada pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum
Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (Al Hadid: 22-23).
Sarana-sarana penunjang kesabaran
Karena kesabaran merupakan perintah, maka Allah telah
menyediakan sarana-sarana yang membantu dan menunjang pelaksanaannya.
Demikianlah, tidak pernah Allah memerintahkan sesuatu kecuali Dia juga membantu
pelaksanaannya serta menyediakan sarana-sarana yang akan menunjang
pelaksanaannya. Sekalipun kesabaran itu sulit dan tidak disukai oleh manusia,
akan tetapi kesabaran itu mungkin untuk dilaksanakan. Pelaksanaannya
membutuhkan dua unsur, yaitu ilmu dan amal.
Unsur ilmu berupa pengetahuan
mengenai manfaat, nikmat dan kesempurnaan yang terkandung dalam kebaikan serta
pengetahuan tentang keburukan, bahaya dan kekurangan yang terkandung dalam
kejahatan. Setelah mengetahui ilmu ini sebagaimana mestinya, maka harus
menyertainya dengan tekad yang sungguh-sungguh, akhlak dan semangat yang
tinggi. Ia perlu menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain, sehingga
terwujudlah kesabaran pada dirinya; segala kesulitan dalam pelaksanaannya
menjadi ringan, kepahitannya menjadi manis dan sakitnya menjadi nikmat.
Kesabaran adalah pertarungan antara akal dan agama melawan nafsu. Jalan untuk
mewujudkan kesabaran adalah menguatkan salah satu dan melemahkan yang lainnya.
Sarana-sarana penunjang kesabaran diantaranya yaitu:
Pertama, menyadari keagungan Allah Ta’ala sehingga
tidak pantas kita berbuat maksiat pada-Nya karena Allah melihat dan mendengar.
Kedua, menyadari cinta-Nya sehingga tidak bermaksiat kepada-Nya.
“Orang yang mencintai, pasti menuruti kekasihnya”.
Ketiga, menyadari nikmat dan karunia Allah. Orang yang berbudi tidak akan
membalas air susu dengan air tuba. Hanya orang yang berakhlak rendah yang akan
melakukan hal itu. Karena itu, kesadaran akan nikmat Allah hendaklah mendorong
seseorang untuk tidak bermaksiat kepada-Nya, karena ia merasa malu atas karunia
dan nikmat Allah yang turun kepadanya, sementara berbagai pelanggaran,
kemaksiatan dan keburukannya naik kepada-Nya. Alangkah buruknya pembalasan
semacam ini.
Keempat, menyadari kemarahan dan murka Allah. Allah
pasti marah jika seorang hamba terus-menerus dalam kemaksiatan. Jika Dia telah
murka, maka tidak ada sesuatupun yang kuasa mencegah kemarahan-Nya apalagi
seorang hamba yang lemah.
Kelima, mengingat pengganti, yaitu janji Allah yang akan memberikan
ganti kepada siapa yang meninggalkan hal-hal yang haram karena-Nya serta
mengendalikan hawa nafsunya. Hendaklah ia membandingkan antara yang diganti
dengan penggantinya. Manakah yang lebih baik, maka itulah yang lebih layak
dipilih untuk dirinya.
Keenam. Berpikir tentang dunia dan betapa cepatnya dia musnah,
sehingga tidak ada yang rela berbekal menuju negeri abadi dengan apa yang
paling rendah didunia dan paling sedikit manfaatnya kecuali orang yang rendah
cita-citanya, nista dan mati hatinya. Sesungguhnya penyesalannya akan semakin
besar ketika mengetahui hakikat bekal itu baginya.
Ketujuh, sering memanjatkan do’a kepada Dzat yang
diantara jemari-Nya terletak hati semua hamba dan di tangan-Nya segala urusan
berada.