Kebangkitan Islam, apapun bentuknya, jika tidak berdiri diatas
landasan ilmu syar’i yang benar dan bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan manhaj
salafush shalih, maka akan berakibat kehancuran dan kemusnahan. Karena hati
yang dibangun tanpa ilmu syar’i laksana bulu diterpa angin. Terkadang
digerakkan kekanan oleh perasaan hati yang kering dari ilmu syar’i dan
terkadang condong kekiri oleh semangat membabi buta. Akibatnya kebangkitan
seperti ini berakhir dalam keruntuhan dalam waktu yang singkat. Berbeda dengan
semua itu, apabila seorang pemuda dibina menuntut ilmu syar’i yang sesuai
dengan dalil-dalil syar’i dan fenomena alam Rabbani, lalu
mengamalkan isinya dan berpegang teguh dengannya, maka kebangkitan seperti ini
akan tumbuh sedikit demi sedikit.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Kebangkitan kaum Muslimin harus diawali dengan memacu motivasi
mereka untuk kembali mempelajari Islam secara benar sesuai dengan pemahaman salafush
shaleh. Sebab dengan motivasi yang tinggi akan menghidupkan jiwa yang
tertidur, melenyapkan kemalasan dan mendorong seseorang untuk mewujudkan
mimpi-mimpi menjadi kenyataan. Tanpa motivasi, seseorang hanya diliputi
kemalasan dan angan-angan tanpa ada semangat untuk bercita-cita, berkarya dan
melakukan inovasi. Motivasilah yang membangkitkan keinginan para ulama untuk
menempuh perjalanan yang jauh dan menjadikan mereka istiqomah walapun
mereka harus mengarungi luasnya padang pasir hingga melepuh disengat teriknya
matahari hanya demi sebuah hadits.
Kita perlu berbicara tentang motivasi belajar ilmu syar’i karena
motivasi yang tinggi akan mendorong kita untuk selalu istiqomah dalam
menghadapi rintangan dan cobaan dalam menuntut ilmu. Menuntut ilmu itu memang
sulit disebabkan besarnya pengorbanan baik harta, tenaga dan pikiran kita.
Belum lagi banyaknya rintangan dan godaaan yang bisa memadamkan motivasi
seseorang untuk menuntut ilmu sehingga dibutuhkan kesabaran dan motivasi yang
tinggi bagi para penuntut ilmu untuk selalu istiqomah dalam
menuntut ilmu. Ilmu tidak mungkin diraih kecuali dengan meniti jembatan
keletihan dan kesulitan terlebih dahulu. Siapa yang tidak kuasa menelan
pahitnya mencari ilmu sesaat,maka ia akan senantiasa menenggak cawan kebodohan
hingga akhir hayat.
Ilmu tidak mungkin diraih tanpa didiringi kesabaran terhadap
segala rintangannya, selain seseorang harus mencurahkan jiwa dan raga untuk
mendapatkannya. Barangsiapa menafkahkan masa mudanya untuk mencari ilmu, maka
ketika tua akan kagum dengan hasil panennya dan merasa nikmat ketika menuliskan
apa yang dilkumpulkannya selama ini; seakan-akan ia tidak merasakan hilangnya
kenyamanan sedikitpun bagi tubuhnya tatkala melihat kenikmatan dari ilmu yang
diraihnya. Ada seseorang yang bertanya kepada Imam Ahmad, “Kapan saatnya untuk
bersantai?” maka jawab beliau, “Ketika sebelah kaki kita berhasil menginjak jannah!”
Begitu pentingnya menumbuhkan motivasi dalam diri seseorang karena apabila
motivasi telah hilang, maka ia akan enggan untuk berbuat sesuatu.
Begitu pentingnya motivasi belajar dalam menuntut ilmu syar’i
karena kita berada di zaman yang semangatnya sudah mati, sehingga keinginan
belajar ilmu syar’i semakin melemah dan kemauan untuk mengajarinya semakin
menurun. Semoga Allah merahmati Ibnu Jarir ath-Thabari. Suatu saat ia pernah
berkata kepada muridnya, “Apakah kalian siap menulis sejarah? “Para murid bertanya,
“Berapa lembar?” Ibnu Jarir menjawab, “Tiga puluh ribu lembar.” Mereka berkata,
“Ini suatu yang sulit yang menghabiskan seluruh umur.” Ibnu Jarir berkata, “La
haula wala quwwata illa billah,semangat sudah mati.” Apa yang akan
dikatakan Ibnu Jarir jika menjumpai masa kita ini, yang seseorang tidak dapat
memaksa dirinya menulis atau menghafal tiga puluh ribu lembar. Keharusan kita
untuk belajar ilmu syar’I karena ilmu ini termasuk bagian dari syari’at Allah.
Juga warisan para nabi yang diberikan kepada kita. Adalah hak Beliau atas kita
untuk menjaga warisannya dari kebinasaan dan kepunahan.
Cerita tentang para ulama dan para imam yang mendapat petunjuk
adalah sarana terbesar untuk menanamkan keutamaan dalam jiwa demi mengobarkan
semangat dan memotivasi untuk kebaikan dan ketakwaan. Ibnu Katsir bercerita
tentang dirinya ketika beliau sedang menulis kitabnya “jami’ul masaanied”,
“Konon aku terus menerus menulisnya dimalam hari, sedang cahaya pelita yang
menerangiku terang-redup hingga akupun menjadi buta karenanya.
Ja’far bin Durustuwaih berkata, “Kami mengambil tempat duduk
karena terlalu padat di sebuah majelis Ali bin Al-Madini waktu Ashar untuk
kajian esoknya. Kami menempatinya sepanjang malam karena khawatir esoknya tidak
mendapat tempat untuk mendengarkan kajiannya karena penuh sesaknya manusia.
Saya melihat seseorang yang sudah tua di majelis tersebut kencing dijubahnya
karena khawatir tempat duduknya diambil apabila ia berdiri untuk kencing.” Ibnu
Asakir ketika menyebutkan biografi seorang yang shaleh Abu manshur Muhammad bin
Husain An-Naisbury berkata, “Beliau orang yang selalu giat dan semangat dalam
belajar, meski dalam keadaan fakir. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya
dan mengulangi membacanya dibawah cahaya rembulan karena tidak punya sesuatu
untuk membeli minyak tanah. Walaupun beliau dalam kedaan fakir, namun beliau
selalu hidup wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sekalipun.
Besarnya motivasi yang dimiliki para ulama dalam menuntut ilmu
sungguh bagaikan cerita fiksi atau dongeng bagi kita saat ini karena beratnya
perjalanan menuntut ilmu dan sulitnya kondisi mereka sehingga kita berpikir
seolah-olah hal itu tidak mungkin terjadi pada orang-orang saat ini.
Terbatasnya fasilitas baik alat komunikasi dan transportasi tidak menyurutkan motivasi
mereka untuk menuntut ilmu sebagaimana perjuangan yang dilakukan oleh Sa’id bin
Musayyab. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku pernah berjalan berhari-hari dan
bermalam-malam untuk mencari satu hadits.”
Renungkanlah bagaimana perjuangan Imam Syafi’i yang terus
bersemangat menuntut ilmu walaupun beliau hidup dalam kesulitan materi. Imam
Syafi’I menceritakan kisahnya, “Dahulu aku menyimak guru yang mengajarkan para
muridnya dan aku menghafal apa yang dikatakannya. Sedangkan ibuku tidak punya
apa-apa untuk membayar guru. Aku adalah seorang anak yatim. Guruku itu juga
membolehkanku untuk ikut bersamanya. Para murid menulis. Sebelum guru tersebut
selesai dari mendiktekan, aku telah terlebih dahulu menghafalkan apa yang aku
tulis. Setelah pulang, aku mengutip tembikar, pelepah kurma dan tulang unta.
Aku menulis hadits padanya dan aku pergi ke tempat belajar sambil mencari
sisa-sisa kertas dan aku menyalinnya hingga penuh gentong milik ibuku
dengannya. Bayangkan! Imam syafi’i yang seorang yatim, miskin, yang hanya mampu
menulis diatas sisa-sisa kertas, tulang dan pelepah kurma namun segala
keterbatasan tersebut tidak membuat beliau mengeluh, putus asa dan berdiam diri
dari menuntut ilmu. Perjuangan yang tak kenal lelah itu telah menjadikan beliau
sebagai seorang yang memiliki ilmu yang mendalam hingga akhirnya beliau menjadi
Imam kaum Muslimin.
Para ulama terdahulu melakukan perjalanan jauh hingga
mengelilingi negeri-negeri yang jauh untuk menuntut ilmu. Motivasi yang rendah
takkan mampu menggerakkan tubuhnya walau hanya selangkah. Motivasi yang rendah
hanya menjadikan dirinya santai berbaring diatas ranjang, malas melakukan
aktivitas dan hanya melamun memimpikan kesenangan dialam bawah sadarnya.
Motivasi yang tinggi telah mendorong Imam Ibnu Mandah untuk
mengelilingi timur dan barat sebanyak dua kali. Beliau melakukan perjalanan
menuntut ilmu dalam jangka waktu yang lama.
Imam Ibn Mandah pergi menuntut ilmu
ketika berumur 20 tahun dan kembali ketika berumur 65 tahun. Lama perjalanan
menuntut ilmu beliau selama 45 tahun. Imam Ibn Mandah kembali ke negerinya
setelah tua dan dia baru menikah ketika berumur 65 tahun. Kecintaan para ulama
pada ilmu syar’i menyebabkan mereka rela untuk lelah berjalan, menahan lapar
dan dahaga. Imam Bukhari bercerita tentang keadaannya ketika menuntut ilmu,
“Suatu ketika aku pergi mengunjungi Adam bin Abi Iyas di ‘Asqalan, namun uang
belanjaku tidak kunjung datang hingga aku terpaksa memakan rerumputan dan tidak
seorangpun yang tahu hal itu. Hingga memasuki hari ketiga, tiba-tiba ada seorang
lelaki tidak dikenal yang mendatangiku lalu memberiku sekantung uang dinar,
sambil berkata, “Pergunakanlah uang ini untuk mencukupi kebutuhanmu.”
Simaklah pula kisah Abu Hatim yang mengisahkan segala ujian
berat yang beliau hadapi selama menuntut ilmu, “Pada tahun 214 H aku menetap
dikota Basrah selama delapan bulan dan aku telah merencanakan untuk menetap
selama setahun penuh, namun aku kehabisan bekal hingga aku terpaksa menjual
pakaianku satu per satu hingga tidak ada lagi yang tersisa bagiku. Akupun tetap
berkeliling dengan seorang sahabatku mendatangi rumah para syaikh dan
mendengarkan hadits dari mereka hingga sore. Setelah itu, temankupun beranjak
dan aku pulang sendirian kesebuah rumah kosong, lalu aku cepat-cepat minum air
karena begitu laparnya. Keesokan harinya, aku kembali berkeliling dengan
sahabatku untuk mendengarkan hadits dalam keadaan lapar berat. Sampai ia
beranjak dan aku berpisah dengannya. Keesokan harinya, sahabatku itu datang
lagi kepadaku lalu mengatakan, “Ayo kita pergi mendatangi para syaikh.” Maka
jawabku, “Aku sudah lemas tidak sanggup lagi..” Ia bertanya, “Kenapa?” Maka
jawabku, “Aku akan berterus terang padamu; sudah dua hari berlalu dan aku belum
makan sesuap pun.” Maka katanya, “Ini masih ada satu dinar, akan kuberikan setengahnya
padamu atau yang setengahnya lagi kau ambil sebagai upah.” Maka kamipun
meninggalkan kota Basrah setelah kuambil darinya setengah dinar.”
Begitu cintanya para ulama terdahulu pada ilmu syar’i hingga
mereka rela mengorbankan jiwa dan raga karena bagi mereka ilmu syar’i merupakan
harta yang sangat berharga dan permata yang mahal. Ketika para salaf memahami
hal ini, mereka merasa rugi jika tidak mendapatkannya atau bersedih karena
kehilangan sesuatu yang berkaitan dengan ilmu syar’i. Sebagaimana mereka merasa
rugi karena kehilangan anak, istri dan hartanya.
Abu Ali Al-Farisi berkata, “pernah terjadi kebakaran di Baghdad
yang menghanguskan semua kitab saya, Padahal saya menuliskannya dengan tangan
saya sendiri. Selama dua bulan saya tidak bisa berbicara dengan seorangpun
karena diselimuti rasa sedih dan bingung. Saya terus menerus sedih dan
bingung.”
Mempelajari perjuangan para ulama dalam menuntut ilmu akan
menyalakan semangat yang padam kembali membara. Perjuangan mereka yang tak
kenal lelah dan segala keterbatasan mereka baik moril maupun materil dalam
menuntut ilmu telah menjadikan mereka sebagai orang-orang yang mulia dari
kalangan kaum Muslimin hingga saat ini. Para ulama salaf telah memberikan
contoh yang baik dan teladan yang agung tentang bagaimana bersemangat dalam
menuntut ilmu, meraihnya serta merindukannya. Mereka mengembara keluar dari
negerinya dengan membawa bekal seadanya dan meninggalkan kenikmatan berkumpul
bersama keluarga untuk berburu ilmu pada para ulama tanpa mengenal batas
dimensi ruang dan waktu.
Kisah-kisah para ulama ketika menuntut ilmu merupakan pelajaran
bagi kita sebagaimana dalam firman Allah, artinya: “Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai
akal.” (QS. Yusuf: 111) Disaat mulai melemahnya motivasi kaum Muslimin
pada zaman ini, maka hendaklah kita menengok kisah-kisah para ulama besar
sehingga menumbuhkan kembali motivasi kita dalam menuntut ilmu syar’i.
Mundurnya kaum muslimin disebabkan kebodohan mereka akan Diennya.
Kaum Muslimin mulai bangga dengan ilmu-ilmu yang diciptakan oleh orang-orang
barat sehingga mereka bangga dengan pemikiran barat yang liberal dan sekuler
namun malu mengungkapkan identitas keislaman mereka! Benarlah kiranya mundurnya
peradaban dan kekuatan kaum Muslimin saat ini disebabkan kaum Muslimin
meninggalkan agama mereka dengan hanya menjadikan Al Qur’an sebagai pajangan
dilemari-lemari dan menjadikan ayat-ayatnya hanya sebagai kaligrafi penghias
rumah-rumah mereka tanpa pernah membaca, merenungi dan mengamalkan isinya.
Mereka berlomba-lomba membangun masjid namun tidak pernah berusaha memakmurkan
masjid dengan kegiatan ilmiah dan keilmuan. Masjid saat ini hanya makmur ketika
sholat berjama’ah dan ramai ketika adanya acara pernikahan apalagi jika dimeriahkan
acara musik maka semakin jauhlah kaum Muslimin dari keberkahan masjid sebagai
pusat keilmuan dan pemersatu umat. Ketika kaum Muslimin mulai bersemangat
berbondong-bondong keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu syar’I maka
saat-saat kebangkitan kaum Muslimin akan semakin dekat.