Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
siapa yang mendapatkan pentunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Saat ini, jumlah penduduk Indonesia berkisar 250 juta jiwa. 80%
di antaranya beragama Islam. Wajar jika Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai
penduduk Islam terbesar di dunia. Tapi, jangan bangga dulu sebab jika kita
bertanya, berapa persen di antara kaum muslimin yang benar-benar paham dengan
ajaran agamanya? Tentu setiap kita memiliki jawaban masing-masing. Dan yang
pasti, masih sangat sedikit.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Dari sini dapat disimpulkan betapa besar jumlah kaum muslimin
yang minim pemahamannya terhadap agamanya. Permasalahannya tidak sebatas pada
faktor kejahilan masyarakat. Namun minimnya para dai yang siap mengajar mereka
dan kurangnya orang-orang yang berkapasitas ilmu syar’I yang siap berdakwah
sesuai manhaj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pada ayat di atas Allah Ta’ala menekankan kewajiban berdakwah.
Dakwah bermakna usaha seorang muslim yang memiliki kemampuan memberi nasehat
serta pengarahan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Menanamkan rasa
cinta dalam diri manusia terhadap Islam melalui akidah dan manhaj yang benar
serta memperingati mereka dari selainnya dengan metode-metode tertentu.
Dari pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa dakwah
berlaku bagi seluruh kalangan muslimin sesuai dengan kapasitas ilmu
masing-masing. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang
memerintahkan umatnya untuk berdakwah walaupun satu ayat. Sedangkan objek
dakwah pun melingkupi seluruh manusia di dunia.
Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi rahimahullah ketika
mengomentari ayat di atas mengatakan perintah dakwah dalam ayat tersebut
ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh manusia
yang menyeru kepada Allah. Selain ayat di atas, sejumlah ayat lain turut
menegaskan pentingnya kewajiban berdakwah. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan dan memerintahkan untuk berbuat ma’ruf serta mencegah dari kemunkaran,
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)
Ketika akan berdakwah, sudah semestinya kita selalu
memperhatikan metode dan manhaj Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
berdakwah. Di antara ciri dakwah yang sejalan dengan manhaj Al-Anbiya adalah
menyampaikan dakwah dengan cara yang hikmah. Syaikh Shalih ibnu Abdullah Ibnu
Humaid berkata dalam tulisannya “mafhum al-hikmah fi ad-dakwah”. Secara bahasa,
hikmah berasal dari akar kata “hakamah” yang berarti tali kekang. Olehnya,
orang yang mempunyai hikmah senantiasa terkendali dan terjaga dari perbuatan
tercela. Sedangkan menurut istilah, hikmah artinya meletakkan sesuatu pada
tempatnya.
Selain pengertian di atas, beberapa ulama juga memberikan
definisi yang berbeda namun pada dasarnya mengarah pada satu muara. Ibnu Zaid
berkata, “Semua ucapan yang bertujuan memberi pengajaran serta mengajak kepada
sesuatu kemuliaan dan mencegah dari keburukan maka itulah hikmah.”
Secara spesifik, Abu Ja’far Muhammad ibnu Ya’qub menambahkan,
“Semua perkataan yang melahirkan perbuatan yang benar, itulah hikmah.”
Kesimpulannya, hikmah berarti sebuah kata yang bermakna
universal terhadap semua ucapan atau ilmu yang bertujuan menjaga keyakinan dan
kemaslahatan manusia secara berkelanjutan. Alhasil, seorang dai yang memiliki
hikmah dalam berdakwah senantiasa memperhatikan hal-hal berikut ini.
Pertama, memahami kondisi objek dakwah (mad’u)
Ada baiknya, seorang dai pandai memahami kondisi mad’u-nya.
Perbedaan karakter dan latar belakang menjadikan tingkat pemahaman mereka
berbeda-beda pula. Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah menyatakan,
“Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar pengetahuan mereka, maukah
kalian jika mereka mendustai Allah dan Rasul-Nya?”
Ibnu Mas’du berkata, “Tiadalah kalian menyampaikan kepada
manusia sesuatu hal diluar pengetahuan mereka, kecuali hanya akan menjadi fitnah
bagi sebagian mereka.”
Hal ini menunjukkan tujuan utama berdakwah adalah pemahaman
orang lain terhadap materi yang disampaikan. Bukan sebatas pada kehebatan
berintonasi semata atau kepiawaian merangkai kata-kata puitis.
Kedua, pandai memilih momen yang tepat
Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya hati manusia memiliki masa
semangat dan lapang. Begitu pula masa jenuh dan sempit, maka masukilah ia pada
masa lapang dan hindarilah saat ia sedang jenuh.” Setiap hari Kamis, Ibnu
Mas’ud seringkali mengulang nasehat ini dihadapan para sahabat. Hingga salah
seorang sahabat berkata, “Saya ingin engkau mengingatkan kami dengan kalimat
tersebut setiap hari.”
Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidak, aku tidak akan melakukan itu. Aku
khawatir membuat kalian jenuh. Hal ini kulakukan sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dulu membina kami dengan cara demikian karena
khawatir kami merasa jenuh.”
Ketiga, bersikap lemah dan lembut
Maimun bin Mihran berkata, “Mengasihi manusia adalah setengah
dari akal.” Tentunya kasih sayang sesama mukmin sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang mukmin itu mengasihi dan dikasihi.
Tiada kebaikan bagi siapa yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi, dan
sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya.” (Shahih
Jami’us Shagir)
Sudah menjadi hal yang fitrah jika manusia merasa senang
diperlakukan secara lemah lembut sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Maka
disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Oleh karena itu, memahami dan mengamalkan tiga hal diatas
merupakan suatu keharusan bagi seorang dai sebab ia yang sangat menentukan
kesuksesan bagi dakwah.
Selain itu, perlu diketahui bahwa dakwah ilallah merupakan
pekerjaan yang sangat mulia dan tinggi. Dengannya seorang hamba dapat mencapai
derajat yang tinggi di sisi Allah Ta’ala. Seorang penyeru kebaikan akan
memperoleh ganjaran sama dengan orang yang mengamalkan seruannya tersebut.
Terakhir, semoga kita senantiasa konsisten di atas jalan dakwah yang haq ini.
Wallahu a’lam.
Sumber:
Al-Bashirah Edisi 08 tahun II Jumadil Ula 1429 H