Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai kepada kita melalui
jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui
ke-shahih-an atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula, para ulama hadits
amat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang
rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya
pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode
yang mereka miliki.
Berbagai persyaratan yang ditentukan terhadap para perawi dan
syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita tidak pernah ada
dan tidak pernah dijumpai pada agama apapun, bahkan hingga masa kini.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Syarat-Syarat Diterimanya Rawi
Jumhur dari imam hadits maupun fiqh sepakat bahwa terdapat dua
syarat pokok perawi hadits:
Pertama, keadilan. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu harus
seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan, selamat
dari cemarnya muru’ah (sopan santun).
Kedua, dlabith. Dengan memberi perhatian bahwa rawi itu tidak
menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak buruk, tidak parah
kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaannya.
Dengan Apa Keadilan Dipastikan?
Keadilan dapat dipastikan melalui salah satu dari dua hal:
Pertama, bisa dengan ketetapan dua orang yang adil, yaitu dua
ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka menetapkan keadilannya.
Kedua, bisa juga dengan ketenaran atau kepopuleran. Jadi,
barangsiapa yang popular dikalangan ahli ilmu dan banyak yang memujinya, hal
itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi penentuan adil baginya. Contoh imam-imam
yang terkenal, seperti imam madzhab yang empat, dua Sofiyan, al-Auza’i.
Pendapat Ibnu Abdil Barr dalam Menetapkan Keadilan
Ibnu Abdil Barr berpendapat bahwa setiap orang yang memiliki
ilmu, dikenal perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat
adil hingga jelas (dijumpai adanya) jarh (cacat). Beliau beragumen dengan
dalil, “Ilmu ini akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti
keadilannya, terhindar dari penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru
orang yang bathil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR. Ibnu
‘Adi dalam kitab Al-Kamil)
Pendapat beliau ini tidak diterima oleh para ulama karena
haditsnya tidak shahih. Malah, tidak bisa tidak bisa men-shahih-kannya sebab
makna dari ilmu ini diemban oleh setiap orang yang adil, realitanya justru ada
juga orang-orang yang tidak adil mengembannya.
Bagaimana mengetahui rawi yang dlabith?
Rawi yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya
dengan rawi tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai
dengan rawi-rawi yang tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun
ada sedikit riwayatnya yang menyelisihi mereka. Namun, jika banyak dari
riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka ke-dlabith-annya bisa
hilang dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa Penjelasan?
Pertama, mengenai ta’dil, dapat diterima walaupun tidak
disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut pendapat yang shahih dan popular. Karena
penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya. Jika itu diperlukan,
maka seorang mu’adil (yang menetapkan keadilan seseorang) akan mengatakan, “lam
yaf al kadza (dia tidak melakukan hal itu), lam
yartakibu kadza (dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu). Atau
mengatakan, huwa yaf’alu kadza (dia melakukan hal itu), wa
yaf’alu kadza wa kadza (dia melakukan hal itu dan hal itu).”
Kedua, mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan menjelaskan
sebab-sebabnya karena tidak sulit untuk dijelaskan. Terdapat perbedaan pendapat
mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang men-jarh dengan sesuatu yang
tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata, “Hal ini sudah jelas menjadi
keputusan dalam ilmu fiqh dan ushul. Imam Al-Hafidz Al-Khatib menyebutkan bahwa
itu merupakan pendapat para imam huffadz hadits. Tetapi, Imam Bukhari, Muslim,
dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh karena itu, Bukhari tetap beargumen dengan
sekelompok orang (generasi terdahulu yang terkena jarh─tetapi bukan ditetapkan
oleh dirinya), seperti Ikrimah dan Amru bin Marzuq. Begitu pula yang dilakukan
Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok orang yang dikenal cacat. Hal
yang sama dilakukan oleh Abu Daud. Ini menunjukkan bahwa jarh tidak bisa
ditetapkan kecuali jika disertai penjelasan mengenai penyebab (jarh)-nya.”
Apakah Jarh dan Ta’dil Bisa Dengan Ketetapan Seorang Saja?
Pendapatnyang benar adalah bahwa jarh dan ta’dil bisa diterapkan
oleh satu orang. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu harus dua orang.
Terhimpunnya Jarh dan Ta’dil Pada Seorang Rawi
Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil, maka:
Pertama, yang dijadikan sandaran adalah jarh-nya, jika jarh-nya
disebutkan.
Kedua, ada juga yang berpendapat jika lebih banyak jumlah orang
yang men-ta’dil-nya dibandingkan dengan yang men-jarh-nya, maka didahulukan
ta’dil-nya. Ini pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.
Hukum Riwayat Orang yang Adil Dari Seseorang
x. Riwayat orang (rawi) yang adil dari seseorang, tidak dianggap
sebagai pen-ta’dil-annya terhadap orang itu. Ini pendapat mayoritas, dan ini
pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa orang itu
di-ta’dil-kan.
x. Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya yang sesuai
dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai shahih. Dan pertentangannya tidak
bisa dijadikan sebagai cela atas ke-shahih-annya maupun riwayatnya. Namun, ada
juga yang berpendapat bahwa hal itu justru menunjukkan ke-shahih-annya. Ini
merupakan pendapat Al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan ahli ushul.
Hukum Riwayat Orang yang Telah Bertaubat dari Sifat-Sifat Fasik
x. Riwayat dari orang fasik yang sudah bertaubat dapat diterima.
x. Riwayat orang yang bertaubat dari perbuatan dusta terhadap
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dapat diterima.
Hukum Riwayat Orang yang Mengambil Upah
x. Sebagian berpendapat tidak bisa diterima. Ini pendapat Ahmad,
Ishak, dan Abi Hatim.
x. Sebagian lain berpendapat bisa diterima. Ini pendapat Abu
Nu’aim Al-Fadl bin Dzukain.
x. Abu Ishak as-Syaizari berpendapat, bagi orang yang kesulitan
memperoleh penghidupan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena
kesibukannya dalam mencari hadits, dibolehkan mengambil upah.
Hukum Riwayat Orang yang Dikenal Menggampangkan atau Menerima Talqin,
atau Banyak Lupa
Pertama, riwayat orang yang menggampangkan dalam mendengar
maupun mendengarkan tidak bisa diterima seperti tidak memperhatikan tatkala
mendengar hadits karena tertidur, atau menceritakan hadits dari sumbernya tanpa
melakukan pengecekan.
Kedua, riwayat orang yang dikenal menerima talqin dalam hadits
tidak bisa diterima, yaitu orang yang mengajarkan hadits dari orang yang tidak
tahu bahwa itu merupakan haditsnya.
Ketiga, tidak menerima riwayat dari orang yang dikenal banyak
lupa dalam periwayatan.
Hukum Riwayat Orang yang Menyampaikan Hadits lalu Lupa
Definisi orang yang menyampaikan hadits lalu lupa, yaitu jika
seseorang syaikh tidak ingat terhadap riwayat yang diceritakan muridnya, dan
riwayat itu ternyata darinya.
Hukum riwayatnya:
x. Ditolak, jika peniadaannya bersifat pasti, karena adanya
perkataannya, “ma rawituhu (aku tidak meriwayatkannya),”
atau “huwa yakdzibu ‘alayya (dia berdusta terhadapku),” dan
sejenisnya.
x. Diterima, jika peniadaannya bersifat tidak pasti, seperti
perkataan, “la a’rifu (aku tidak tahu),” atau “la
adzkuruhu (aku tidak ingat),” dan sejenisnya.
Apakah penolakan suatu hadits dapat dianggap cacat terhadap
salah satu dari keduanya? Penolakan dari suatu hadits tidak dianggap sebagai
cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab salah satu dari keduanya lebih
parah cacatnya dibandingkan yang lainnya.
Contoh: Hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah yang
merupakan riwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh
dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah memutuskan (dengan hanya berlandaskan pada) sumpah dan seorang saksi.
Abdul Aziz bin Muhammad Ad-Dawardi berkata, “Telah bercerita kepadu Rabi’ah bin
Abi Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya
kepadanya mengenai (rantai hadits tersebut) yang berasal darinya, namun dia
tidak mengetahuinya. Maka aku berkata, “Telah bercerita kepadaku dari Rabi’ah, dari
engkau, begini….dan begini….” Setelah itu, Suhail berkata, “Telah bercerita
kepadaku Abdul Aziz dari Rabi’ah dari aku bahwasanya aku
menceritakan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’
begini….begini…”
Kitab popular yaitu Akhbar man Haddatsa wa Nasiya, karya
Al-Khathib.
Daftar Pustaka
Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah:
Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah