Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Shalat
seseorang dengan berjama’ah lebih tinggi nilainya dua puluh tujuh kali lipat daripada
shalatnya sendirian.” (HR. Muslim)
Tinjauan Sejarah
Mengerjakan shalat lima waktu berjama’ah mulai disyari’atkan di
kota Mekkah setelah turunnya perintah mengerjakannya. Pada mulanya, shalat
berjama’ah bukanlah perkara yang sangat ditekankan, hanya sebatas disyari’atkan,
dan belum diwajibkan. Setelah Allah Ta’ala mewajibkan shalat lima waktu sehari
semalam, Allah mengutus malaikat Jibril pada hari itu juga untuk mengajari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam waktu-waktu shalat dan tata cara
pelaksanaannya. Malaikat Jibril langsung mengimami Rasulullah di Baitul
Al-Haram sebanyak dua kali.
Abdurrazaq meriwayatkan dalam Mushannaf-nya, dari
Ibnu Jureij bahwa ia berkata, “Nafi’ bin Jubair dan yang lainnya berkata, ‘Pada
pagi hari sepulang dari Isra’ Mi’raj, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dikejutkan dengan kedatangan malaikat Jibril ketika matahari mulai tergelincir.
Oleh sebab itu, disebut sebagai shalat al-uulaa. Jibril
memerintahkan agar shalat ditegakkan dan dikumandangkan pada manusia “Ash-Shalaatu
Jaami’atan”. Para sahabat pun berkumpul. Malaikat Jibril mengimami
Rasulullah, sementara Rasulullah mengimami para sahabat dengan memanjangkan dua
rakaat pertama dan memendekkan dua rakaat terakhir. Kemudian Jibril mengucapkan
salam sebagai pertanda shalat selesai diikuti oleh Rasulullah yang juga
mengucapkan salam pertanda shalat selesai. Begitu pulalah ketika mengerjakan
shalat ashar, mereka melakukannya seperti yang dilakukan pada saat mengerjakan
shalat dzuhur. Kemudian malaikat Jibril turun di awal malam, dan memerintahkan
agar menyerukan “Ash-Shalatu Jaami’atan”. Malaikat Jibril mengimami
Rasulullah shalat. Jibril membaca surat yang panjang dan memanjangkan dua
rakaat pertama serta mengeraskan bacaan dan memendekkan dua rakaat terakhir.
Kemudian Jibril mengucapkan salam pertanda shalat selesai diikuti oleh
Rasulullah yang juga mengucapkan salam pertanda shalat selesai.’”
As-Suheili berkata dalam kitab Ar-Raudhul Anif,
“Para penulis kitab Shahih sepakat bahwa kisah ini, yakni
kisah Jibril mengimami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada
pagi hari sepulang beliau dari Isra’ Mi’raj, yaitu lima tahun setelah diangkat
menjadi nabi.”
Rasulullah mengerjakan shalat bersama sejumlah sahabat dalam
beberapa kesempatan namun balun lakukan setiap waktu. Beliau pernah mengerjakan
bersama Ali bin Abi Thalib di rumah Al-Arqaam, shalat bersama Ummul Mukminin
Khadijah, yakni setelah malaikat Jibril mengimami beliau shalat.
Akan tetapi, kala itu shalat jama’ah belumlah ditekankan. Shalat
jama’ah baru disyari’atkan di Madinah setelah hijrah. Kemudian, shalat jama’ah
menjadi syi’ar agama Islam.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar
bahwa ia berkata, ”Ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul untuk
menunggu waktu shalat tanpa ada seruan ataupun panggilan. Pada suatu hari
mereka berbincang-bincang tentang masalah tersebut. Sebagian mereka
mengusulkan agar membuat lonceng seperti lonceng yang digunakan kaum
Nasrani. Sebagian lagi mengusulkan agar membuat terompet sebagaimana yang
digunakan kaum Yahudi. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Mengapa kalian tidak
memerintahkan saja seseorang untuk menyerukan shalat.’ Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Wahai Bilal, bangkit dan kumandangkan
azan shalat.’”
Abu Daud meriwayatkan dalam Sunan-nya dari jalur Abu Umeir bin
Anas dari salah seorang bibinya dari kalangan Anshar bahwa ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang memikirkan bagaimana caranya
mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shalat. Ada yang mengusulkan kepada
beliau, ‘Tancapkan saja bendera setiap waktu tiba shalat. Apabila manusia
melihatnya, mereka saling memberitahu satu sama lainnya.’ Namun Rasulullah
tidak tertarik dengan usul tersebut. Lalu ada yang menyebut-nyebut al-quna’ atau syabbuur,
yakni terompet yang biasa digunakan oleh orang Yahudi. Ziyad berkata, ‘Yakni
syabburu Yahudi.’ Namun beliau tidak tertarik dengan gagasan tersebut. Beliau
mengatakan bahwa itu adalah ciri khas orang Yahudi. Lalu ada yang mengusulkan
(dengan) membunyikan lonceng. Beliau berkata, ‘Itu merupakan ciri khas kaum
Nasrani.’”
Melihat tidak satu pun usul diterima oleh Rasulullah, maka
kembalilah Abdullah bin Zaid sambil memikirkan apa yang sedang dipikirkan oleh
Rasulullah. Ia pun bercerita, “Wahai Rasulullah, saat itu aku antara sadar dan
tidak, tiba-tiba datanglah seseorang menemuiku dan memperlihatkan kepadaku
seruan azan.”
Dua puluh hari sebelumnya, Umar bin Khattab juga telah melihat
mimpi yang sama, namun beliau tidak menceritakannya. Lalu ia menceritakan
kepada Rasulullah mimpinya itu. Rasulullah berkata kepadanya, “Apa yang
menghalangimu untuk menceritakannya kepadaku?” Umar menjawab, “Abdullah bin
Zaid telah mendahuluiku, aku pun malu menceritakannya.” Maka Rasulullah pun
berkata kepada Bilal, “Wahai Bilal, bangkitlah dan ikutilah apa yang didektekan
Abdullah bin Zaid, lalu kumandangkanlah.”
Abu Bysr berkata, “Abu Umeir menceritakan kepadaku bahwa kaum
Anshar yang menceritakan kepadaku bahwa kaum Anshar menduga bahwa sekiranya
saat itu Abdullah bin Zaid tidak sedang sakit, niscaya Rasulullah mengangkatnya
sebagai mua’adzin.”
Demikianlah azan disyari’atkan untuk pelaksanaan shalat lima
waktu berjama’ah. Sudah selayaknya kapan saja seorang muslim jika mendengar azan
supaya segera mendatanginya. Diriwayatkan dari Abu Hurairah berkata,
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sekiranya
orang-orang tahu keutamaan menyambut seruan azan dan berada di shaf pertama,
kemudian hal tersebut hanya dapat diraih (dengan) mengundi, niscaya mereka akan
mengundi demi mendapatkannya.’” (HR. Bukhari).
Hikmah Disyari’atkannya Shalat Jama’ah
Kedudukan shalat dalam Islam merupakan wasilah yang paling ampuh
dalam menghapus perbedaan status sosial antara kaum muslimin, menghilangkan
sikap fanatik terhadap warna kulit, suku bangsa, dan nasab. Shalat berjama’ah
mendorong seseorang untuk meninggalkan kebiasaannya yang suka menyendiri
sehingga kaum muslimin dapat saling bergaul dan mengenal di antara mereka.
Dengan demikian, akan tercipta rasa saling menyayangi dan persaudaraan yang
mengakar kuat. Selain itu, shalat berjama’ah juga akan membimbing seseorang
untuk hidup teratur dan disiplin.
Hukum Shalat Fardhu Berjama’ah dan Ancaman Meninggalkan Shalat
Berjama’ah Tanpa Udzur
Shalat fardhu berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain (bagi laki-laki).
Ini merupakan pendapat dari Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Atha bin
Abi Rabbah, Ibnu Khuzaimah, Al-Auza’I, dan merupakan pendapat mayoritas ulama
Hanafiyah dan Hambaliyah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Barangsiapa mendengarkan seruan azan,
sedang tidak ada udzur yang menghalanginya (untuk) mengikuti shalat
berjama’ah, maka tidak sah shalat yang dilakukannya sendirian.” Mereka berkata,
“Apa itu udzur?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Rasa takut
(tidak aman) atau sakit.” (HR. Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Darda radhiyallahu ‘anhu bahwa ia
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bilamana tiga
orang yang tinggal di satu kota atau desa tidak menegakkan shalat berjama’ah,
maka setan akan mempecundangi mereka. Hendaklah kalian selalu menegakkan shalat
berjama’ah.” ( HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat atas kaum munafiqin adalah
shalat isya’ dan fajar. Sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya
mereka akan menghadirinya meskipun dengan merangkak. Sungguh betapa ingin
rasanya aku memerintahkan orang-orang untuk shalat kemudian aku memerintahkan
seseorang untuk mengimami mereka. Lalu aku pergi bersama beberapa orang
laki-laki dengan membawa kayu bakar menjumpai orang-orang yang tidak menghadiri
shalat berjama’ah, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.” (HR. Muslim)
Sumber:
Bimbingan Lengkap Shalat Berjama’ah, Dr. Shalih bin Ghanim
As-Sadlan: Pustaka At-Tibyan