Dakwah ke jalan Allah Ta’ala merupakan ketaatan
yang paling mulia dan qurobah (pendekatan diri/ibadah) yang
paling agung. Dakwah merupakan seutama-utama pergerakan yang mengarahkan
semangat yang tinggi dan kemauan yang kuat, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya Aku termasuk
orang-orang yang menyerah diri?’” (QS. Fushsilat : 33)
Allah pun juga telah menyediakan bagi (orang yang) berdakwah,
ganjaran yang besar dan pahala yang berlimpah. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk,
maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa
mengurangi pahala orang yang mengikutinya tersebut sedikitpun.” (HR
Muslim).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Berdakwah ke jalan Allah merupakan jalannya para nabi dan rasul,
dan jalannya orang-orang yang mengikuti mereka dari para ulama dan para du’at
yang mushlihin (reformis/melakukan perbaikan). Allah Azza
wa Jalla bahkan telah memilih makhluk pilihan-Nya, Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Sallam untuk berdakwah sebagaimana di dalam firman-Nya, “Dan
untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi
cahaya yang menerangi.” (QS. al-Ahzab: 46)
Wajib bagi para da’i yang berdakwah di jalan Allah berbekal
dengan adab-adab yang dapat menghantarkan dakwahnya kepada kesuksesan. Bekal
itu di antaranya yaitu:
Bekal Pertama: Ilmu
Seorang da’i haruslah memiliki ilmu tentang apa yang ia
dakwahkan di atas ilmu yang shahih yang berasal dari
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun dakwah tanpa ilmu maka sesungguhnya ini termasuk dakwah di atas
kejahilan, dan berdakwah di atas kejahilan itu madharat-nya lebih
besar dibandingkan manfaatnya. Apabila ia orang yang jahil, maka dengan
melakukan dakwah seperti ini (di atas kejahilan), dapat menyebabkannya sesat
dan menyesatkan.
Firman-Nya, ”Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah
orang yang mengikuti beliau Shallallahu ’alaihi wa Sallam, wajib
atasnya berdakwah mengajak kepada Allah di atas bashiroh, tidak
di atas kejahilan.
Renungkanlah wahai para da’i firman Allah ”di atas
bashiroh”, yaitu di atas bashiroh pada tiga hal :
Pertama: di atas bashiroh terhadap
apa yang di dakwahkan, yaitu ia haruslah memiliki ilmu (baca: mengetahui)
tentang hukum syar’i yang ia dakwahkan.
Kedua: di atas bashiroh terhadap
kondisi dakwah (baca: kondisi objek dakwah, pent.). Oleh karena
itulah Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam tatkala mengutus
Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan padanya, ”Sesungguhnya engkau akan
mendatangi kaum dari ahli kitab.” (HR. Bukhari-Muslim). Hal ini
penting untuk disampaikan supaya Mu’adz mengetahui kondisi objek dakwah dan
bersiap-siap di dalam menghadapi mereka.
Oleh karena itulah kondisi mad’u (objek dakwah)
ini haruslah diketahui, sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana
kemampuan mereka untuk debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk
berdiskusi dan berdebat dengan mereka.
Ketiga: di atas bashiroh di
dalam cara berdakwah. Allah Ta’ala berfirman, ”Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Sebagian manusia, acap kali ketika menjumpai suatu kemunkaran,
ia langsung terburu-buru main ”sikat”. Ia tidak berpikir akan dampak dan akibat
perbuatannya ini bagi dirinya dan rekan seperjuangannya sesama da’i yang
menyeru kepada kebenaran.
Bekal Kedua: Sabar
Seorang da’i haruslah bersabar dan berupaya menetapi kesabaran
di dalam berdakwah, jangan sampai ia berhenti atau jenuh, namun ia harus tetap
terus berdakwah ke jalan Allah dengan segenap kemampuannya.
Dengarkanlah firman Allah Azza wa Jalla yang
menyeru Nabi-Nya, “Itu adalah di antara berita-berita penting tentang hal
yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu
mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah;
Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Hud: 49)
Setiap dakwah yang benar, pastilah akan menghadapi orang yang
merintangi, menghalangi, membantah, dan menebarkan keragu-raguan. Namun,
wajiblah bagi seorang da’i bersabar menghadapi segala sesuatu yang merintangi
dakwahnya.
Bekal Ketiga: Hikmah
Seorang da’i haruslah menyeru kepada Allah dengan hikmah.
Alangkah pahitnya orang yang tidak memiliki hikmah. Dakwah ke jalan Allah itu
haruslah dengan : (1) hikmah, (2) mau’izhah hasanah (pelajaran
yang baik), (3) berdebat dengan cara yang lebih baik kepada orang yang tidak zhalim,
kemudian (4) berdebat dengan cara yang tidak lebih baik kepada orang yang zhalim.
Jadi, tingkatan ini ada empat. Allah Ta’ala berfirman, ”Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Sesungguhnya hikmah itu adalah menetapkan suatu perkara secara
mantap dan tepat, dengan cara menempatkan suatu perkara pada tempatnya dan
mendudukkan suatu perkara pada kedudukannya. Bukanlah termasuk hikmah apabila
Anda tergesa-gesa dan menginginkan manusia berubah keadaannya dari keadaan
mereka sebelumnya menjadi seperti keadaan para sahabat hanya dalam sehari
semalam.
Bekal Keenam: Berakhlak yang baik
Di antara bentuk akhlak yang baik adalah penuh kasih sayang,
kelemahlembutan, keramahan, wajah yang berseri-seri, tawadhu’ (rendah
diri), dan tutur kata yang halus. Alloh Azza wa Jalla telah
menyanjung panutan para du’at Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam
firman-Nya, “Sungguh pada dirimu terdapat perangai yang agung.”
Siapa saja dari para du’at yang tidak berperangai dengan akhlak
yang baik, maka ia akan menyebabkan manusia lari darinya dan dari dakwahnya.
Karena tabiat manusia itu, mereka tidak mau menerima dari orang yang suka
mencela mereka, walaupun yang diucapkan orang itu adalah benar.
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya yang mulia, ”Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Bekal Kelima: Menghancurkan Penghalang Antara Dirinya dengan
Objek Dakwah
Seorang da’i haruslah menghancurkan penghalang antara dirinya
dengan manusia. Hal ini disebabkan karena banyak saudara-saudara kita para
du’at, apabila melihat suatu kaum melakukan kemunkaran, mereka terlalu ghirah (cemburu/semangat)
dan benci terhadap kemungkaran tersebut sehingga mereka tidak mau pergi menemui
kaum tersebut dan menasehati mereka. Hal ini adalah suatu kesalahan dan
bukanlah termasuk hikmah sama sekali. Bahkan yang termasuk hikmah apabila anda
pergi mendakwahi mereka, menyampaikan motivasi dan peringatan. Janganlah Anda
sekali-kali mengatakan bahwa mereka adalah orang fasik dan tidak mungkin aku
akan berjalan dengan mereka.
Apabila para da’i tidak mau berjalan bersama mereka, dan tidak
mau pergi menemui untuk mendakwahi mereka, lantas siapa yang bertanggung jawab
terhadap mereka? Apakah salah seorang dari mereka yang mengambil tanggung jawab
ini? Ataukah kaum yang tidak berilmu yang mengambil tanggung jawab ini? Sama
sekali tidak! Ia harus bersabar dan membenci perbuatan tersebut, namun ia tetap
haruslah menghancurkan penghalang antara dirinya dan manusia sehingga ia
menjadi mantap di dalam menyampaikan dakwahnya kepada mereka. Apabila da’i
tersebut bersikap congkak, maka ini menyelisihi apa yang dituntunkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Keenam: Tenang (tidak terburu-buru) dan Tatsabbut (verifikasi)
Termasuk ciri utama yang membedakan seorang da’i yang berdakwah
ke jalan Allah Azza wa Jalla adalah bersikap ta`anni (tenang/tidak
terburu-buru) dan tatsabbut (verifikasi/cek dan ricek)
terhadap segala perkara yang terjadi dan semua berita yang ada. Maka, janganlah
dia bersikap tergesa-gesa sehingga menghukumi manusia dengan apa yang tidak ada
pada mereka, yang dapat menyebabkan dia menyesal dan bersedih hati diakibatkan
sikap ketergesa-gesaannya. Untuk itulah Allah Ta’ala berfirman,
”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Bekal Ketujuh: Berlapang Dada Dalam Perselisihan
Seorang da’i haruslah berlapang dada terhadap orang yang
menyelisihinya, apalagi jika diketahui bahwa orang yang menyelisihinya itu
memiliki niat yang baik. Ada permasalahan furu’iyyah yang
diperselisihkan manusia, dan hal ini pada hakikatnya termasuk sesuatu yang
Allah berikan kelapangan adanya perselisihan di dalamnya. Hal yang dimaksud
adalah permasalahan yang “bukan termasuk ushul (pokok)” yang
dapat mengantarkan seseorang pada pengkafiran bagi yang menyelisihinya. Maka,
masalah (furu’iyyah) ini termasuk perkara yang Allah memberikan keluasan
di dalamnya bagi hamba-hamba-Nya dan adanya kesalahan di dalamnya dimaafkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Apabila
seorang hakim berijtihad lalu ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, namun
apabila ia tersalah maka mendapatkan satu pahala.”
Sumber:
Zâdud Dâ’iyah ilallâh, Al-Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Hasan
bin Abdirrahman Alu Syaikh alih bahasa Abu Salma Al-Atsari
Ậdabud Dâ’iyah,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin alih bahasa Abu Salma Al-Atsari