Jika kita menyusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak kita temukan pada masa sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan juga empat imam madzhab, padahal mereka adalah
orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam.
Perlu diketahui pula bahwa –menurut pakar sejarah-, yang pertama
kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga
Fatimiyyun (silsilah keturunan yang disandarkan pada Fatimah).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Asy-Syaikh Bakhit Al-Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul
Kalam menyatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan
maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, Maulid Ali, Maulid Fatimah, Maulid Al-Hasan, Maulid Al-Husain
radhiyallahu ‘anhum, dan Maulid Khalifah yang berkuasa saat itu, yaitu
Al-Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari Dinasti Fatimiyyun) pada tahun
362 H.
Fatimiyyun yang Sebenarnya.
Seorang pakar sejarah yang bernama Al-Maqrizy juga menjelaskan
bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalams setahun.
Beliau menyebutkan kurang lebih ada 25 perayaan. Bahkan lebih parah lagi,
mereka juga merayakan perayaan hari raya orang-orang Majusi dan Nashrani, yaitu
hari Nauruz (tahun baru Persia), hari Al-Ghottos, hari Milad (hari Natal). Ini
pertanda bahwa mereka jauh dari Islam.
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani dalam kitabnya yang menyingkap
tirai Bani ‘Ubaidiyyun, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun adalah
keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah daripada Yahudi dan
Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim Ali sebagai
‘Ilah (tuhan). Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur daripada Yahudi dan
Nashrani (Lihat Al Bida’ Al Hauliyah)
Inilah sejarah sejarah kelam dari Maulid Nabi. Dari penjelasan
di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa merayakan Maulid Nabi berarti telah
mengikuti Daulah Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan
ini berarti telah mengikuti tradisi orang-orang yang jauh dari Islam, dan telah
menyerupai orang-orang yang fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sikap Ahlu Sunnah Dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam
Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy-Syuqairy mengatakan, “Bulan
Rabiul Awal ini tidaklah dikhususkan dengan shalat, dzikir, ibadah, nafkah,
atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang didalamnya terdapat hari
besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘Ied sebagaimana digariskan
oleh syari’at…Bulan ini memang hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana seseorang
bersenang-senang dengan hari kelahiran sekaligus juga dengan hari kematiannya?
Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu termasuk perayaan yang
bid’ah munkar. Tidak ada dalam syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal
ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini
tidak dilaksanakan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sahabat lainnya?
Tidak diragukan lagi bahwa perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan
orang-orang sufi, orang-orang yang serakah pada makanan, orang-orang yang gemar
menyia-nyiakan waktu dengan permainan, dan pengagung bid’ah.
Lantas, faedah apa yang bisa diperoleh? Pahala apa yang bisa
diraih dari penghamburan harta yang memberatkan? (As-Sunan wal Mubtada’at Al
Muta’alliqah bil Adzkari wa Sholawat)
Sumber:
Diringkas dari Bulletin At-Tauhid Edisi 6 Maret 2009