Umar bin Abdul’Aziz merupakan tokoh pembaharu pertama bagi
generasi muslim pada periode seratus tahun pertama. Dia yang mengubah wajah
dunia hanya dalam kurun waktu yang singkat, yaitu dua tahun lebih lima bulan.
Umar bin Abdul’Aziz telah memuliakan agama Allah Ta’ala, meninggikan menara
sunnah, manghancurkan segala bentuk bid’ah sampai keakar-akarnya sehingga ahli
bid’ah harus menerima kekalahan dan kehinaan mereka, serta tidak berani
memperlihatkan bid’ah yang mereka lakukan dengan terang-terangan. Dia merupakan
sosok pemimpin yang berusaha menegakkan keadilan. Biografinya perlu kita
tela’ah lebih dalam agar kita bisa mempelajari keteladanannya sebagai seorang
pemimpin.
Nama dan Kelahiran
Namanya yaitu Umar bin Abdul’Aziz bin Marwan
bin Al-Hakam bin Abi Al-‘Ash bin Umayyah bin Abdisyams bin Abdimanaf bin Qushay
bin Kilab. Umar bin Abdul’Aziz lahir di Hilwan, nama sebuah desa di Mesir.
Ayahnya seorang pemimpin daerah disana tahun 61 atau 63 Hijriyah. Ibunya
bernama Ummu ‘Ashim binti ‘Ashim bin Umar bin Al-Khattab radhiallahu’anhu.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Awal Mula keaktifannya
Menuntut Ilmu dan Memegang Jabatan Kekhalifahan
Orang tuanya ingin melihatnya keluar dari daerah itu guna
menuntut ilmu, sehingga ia berkata, “Wahai ayah, mungkin lebih bermanfaat
bagiku kalau ayah membawaku pergi ke kota Madinah. Karena aku disana bisa
belajar banyak dengan para ahli fiqhnya dan menyelami perilaku mereka.”
Kemudian ayahnya membawanya ke Madinah hingga akhirnya Umar bin Abdul’Aziz
terkenal di Madinah dengan kecerdasan dan kedalaman ilmunya walaupun dia masih
sangat muda. Dia (perawi) berkata, “Ketika ayahnya meninggal, Khalifah Abdul
Malik bin Marwan mengutus pengawalnya kepada Umar bin Abdul’Aziz untuk dibawa
keistana dan diasuhnya bersama-sama dengan puteranya yang lain.
Dia memang terlihat menonjol daripada mereka putera-puteri
khalifah. Kemudian khalifah menikahkannya dengan puterinya, Fatimah.” Ketika
Al-Walid menjabat sebagai khalifah, Umar bin Abdul’aziz diangkat menjadi
walikota Madinah. Dia menjabat walikota Madinah dari tahun 86 HIjriyah hingga
tahun 93 HIjriyah, akan tetapi kemudian dia diturunkan dari tahta sehingga dia
lalu pergi ke Syam. Kemudian, Ketika Al-Walid berniat mengulingkan saudaranya
Sulaiman dari haknya memegang pemerintahan selanjutnya (setelah Al-Walid) dan
menggantikannya dengan puteranya;
Dia memaksa para pemimpin daerah dan walikota
ataupun para gubernur untuk menyetujui rencanya itu. Namun Umar bin Abdul’Aziz
tidak menyetujuinya. Dia berkata, : Sulaiman adalah orang yang berhak mendapat
ba’iat dalam pundak kami.” Dia bersikeras dengan pendapatnya itu sehingga
membuat Al-Walid berang dan membenamkan wajahnya kedalam tanah berlumpur.
Ketika Sulaiman dan para pendukungnya mengetahui sejarah dan peristiwa
kegigihan Umar bin Abdu’Aziz yang mempertahankan hak Sulaiman, dia
mengamanatkan kepada seluruh warganya untuk mengangkatnya sebagai khalifah.
Dari Raja’ bin Haiwah, dia berkata, “Ketika Jum’at tiba,
Sulaiman memakai pakaiannya dari sutera dan bercermin sambil berkata, “Demi
Allah, aku adalah seorang raja yang masih muda.” Lalu dia berangkat ke masjid
untuk shalat berjama’ah dengan penduduk. Ketika dia kembali, dia merasakan tubuhnya
kurang sehat. Ketika sakitnya semakin bertambah berat, dia menuliskan sepucuk
surat untuk mengangkat puteranya Ayyub, sebagai putera mahkota yang pada saat
itu masih seorang bocah yang belum akil baligh, sehingga aku lalu berkata, “Apa
yang Anda lakukan, wahai Amirul Mukminin? Sesungguhnya yang bisa menjada
kematian seorang kahalifah tetap tenang didalam kuburnya adalah mengangkat
seorang khalifah yang saleh.” Sang khalifah berkata, “Surat ini memang
membingungkan, aku kira ini yang terbaik, akan tetapi aku belum bisa
mengesahkannya.”
Surat itu disimpan khalifah selama dua atau tiga hari lalu
dibakarnya. Beberapa saat kemudian, dia memanggilku (perawi) dan berkata,
“Kalau Dawud bin Sulaiman, bagaimana pendapatmu?”Aku menjawab, “Dia sadang
berada di Konstantinopel, sedangkan Anda tidak tahu apakah dia masih hidup
ataukah sudah meninggal dunia,” Dia berkata, “Bagaimana pendapatmu, siapa yang
layak?” Aku berkata, “Terserah Anda Wahai Amirul Mukminin, aku memohon Anda
untuk berpikir kira-kira siapa yang pantas.”
Sang khalifah kemudian berkata, “Bagaimana pendapatmu jika Umar
bin Abdul ‘Aziz?” Aku berkata, “Yang aku tahu dia adalah orang yang mulia,
terhormat dan memang dialah orang yang terbaik dan terpilih dikalangan kaum
muslimin.” Khalifah berkata, “Ya, dia. Demi Allah, aku yakin itu, kalaulah aku
jadi mengangkatnya dan tidak mengangkat salah seorang keturunan dari khalifah
Abdul Malik bin Marwan, niscaya akan terjadi fitnah dikemudian hari-Yazid bin
Abdul Malik saat itu sedang tidak berada di istana selama satu musim.” Khalifah
lalu berkata, “Angkatlah dia (Yazid) setelah Khalaifah Umar bin Abdul ‘Aziz
nanti, jika dia orang yang dapat menyejukkan dan mereka cintai.” Aku menjawab,
“Aku setuju pendapat Anda, wahai Amirul Mukminin.”
Lalu Khalifah sulaiman menuliskan
surat wasiat dengan tangannya sendiri yang isinya sebagai berikut,
“Sulaiman mengamanatkan kepada Umar bin Abdul ‘Aziz:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.
Ini adalah surat dari Abdullah Sulaiman Amirul Mukminin kepada
AUmar bin Abdul ‘Aziz. Sesungguhnya aku telah mengangkat menjadi khalifah
menggantikanku. Dan orang sesudahnya adalah Yazid bin Abdul Malik. Maka,
dengarkanlah dan taatilah dia dan bertakwalah kepada Allah ta’ala, dan
janganlah kalian berselisih dan saling bertentangan sehingga kedamaian akan
menyelimuti kalian.”
Orang-orang menyerukan dengan satu suara, “Wahai amirul
Mukminin, kami semua telah bersepakat telah memilih Anda, kami rela dan menerima
kepemimpinan Anda, kami mengiringi dengan sumpah dan doa.” Ketika suara telah
reda, dan para penduduk telah rela dan menerima kepemimpinannya, dia bersyukur,
memuji kepada Allah Ta’ala, mengucapakan shalawat dan salam kepada Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam.
Setelah itu dia berkata, “Aku mewasiatkan kepada
kalian agar selalu bertakwa kepada Allah Ta’ala karena tekwa adalah jiwa dari
segala sesuatu dan ketakwaan kepada Allah bukanlah suatu kemunduran.
Ketahuilah, dengan sebenar-benarnya tentang kehidupan akhirat nanti, karena
sesungguhnya orang yang berusaha untuk kehidupan akhiratnya, maka Allah Ta’ala
akan mencukupi kebutuhannya di dunianya. Perbanyaklah mengingat kematian dan
usahakanlah untuk mendapatkan bekal kematian dengan sebaik-baiknya sebelum
kematian itu benar-benar mendatangi kalian. Dengan mengingat kematian, kalian
tidak akan terlena dalam kesenangan dan kemewahan. Sesungguhnya orang yang
tidak mau mengingat akan hubungan antara kematian dan kehidupan kaum Adam,
niscaya dia akan mendapatkan kesulitan ketika meninggal dunia kelak.
Sesungguhnya umat ini tidak akan pernah mempersoalkan (mempedulikan) Tuhan
(agama) dan tidak pula nabi mereka dan juga kitab-kitabNya, mereka hanya akan
memperdulikan harta benda dan kekayaan. Sesungguhnya –demi Allah Ta’ala- aku
tidak akan memberikan kesempatan kepada seorang pun untuk melakukan kebathilan
dan aku tidak akan pernah mencegah seseorang melakukan kebenaran.” Setelah itu,
dia mengeraskan suaranya hingga lebih banyak orang yang mendengarnya. Dia berkata,
“Wahai manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib ditaati.
Barangsiapa durhaka kepada Allah, maka tidak ada hak baginya untk ditaati.
Taatlah kalian semua kepadaku selama aku taat kepada Allah, dan jika aku
berlaku maksiat kepada Allah, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk
menaatiku.”
Rasa Takut dan Tangisannya
Dari Al Mughirah bin Hukaim, dia berkata, “Fatimah binti Abdul
Malik bin Marwan, dia berkata kepadaku, “Wahai Mughirah, mungkin saja ada orang
yang lebih baik shalat dan puasanya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz, akan tetapi
aku belum pernah melihat seorangpun yang lebih banyak takut dan lebih banyak
menangis dihadapan Tuhannya daripada Umar bin Abdul ‘Aziz. Jika dia masuk
kerumahnya, dia langsung membungkukkan dir dalam persujudannya, dia tersu saja
menangis hingga kedua matanya tertidur, kemudian terbangun dan menangis lagi
dan lagi. Dia menghabiskan sebagian besar malamnya seperti itu.”
Dari Qatadah, dia berkata, “Ada seorang lelaki bernama Ibnu
Al-Ahtam menemui Umar bin Abdul ‘Aziz. Dia terus saja memberi nasehat kepada
Umar bin Abdul ‘Aziz yang terus sesenggukan menangis, hingga sang khalifah
jatuh pingsan.”
Dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dia berkata, “Fatimah, isteri
Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz telah memberitahukan kepadaku bahwa suatu ketika
dia menemui suaminya itu, dan ternyata sang suami sedang melakukan shalat.
Fatimah lalu menempelkan tangannya di pipi sang suami yang sedang basah oleh
air mata. Setelah itu, Fatimah bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah ada
sesuatu telah terjadi?” Dia berkata, “Wahai Fatimah, aku adalah orang yang
diberi tanggung jawab terhadap permasalahan umat Rasulullah shalallahu’alaihi
wa sallam. Kemudian terpikir olehku, orang-orang fakir yang kelaparan,
orang-orang sakit yang mengeluh, orang-orang yang kekurangan dan selalu
berjuang dijalan Allah, orang-orang yang teraniaya yang selalu dipaksa
orang-orang asing dan kaya raya, orang-orang sombong dan orang-orang yang
menanggung beban keluarga diseluruh pelosok negeri. Aku sadar bahwa Tuhanku akan
menanyakan tanggung jawabku terhadap mereka, pertanggung jawaban dihadapan
Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam sebagai pemimpin umat. Aku khawatir jika
tidak mempunyai alasan untuk menjawab pertanyaannya hingga akhirnya aku
menghibur diri dengan menangis.”
Kezuhudannya
Dari Maslamah bin Abdul Malik, dia berkata, “Aku menemui Umar
bin Abdul ‘Aziz untuk menjenguknya karena sakit. Saat itu dia mengenakan baju
yang sudah jelek dan kotor, kemudian aku berkata kepada Fatimah binti Abdul
Malik, isterinya, “Wahai Fatimah, cucilah baju Amirul Mukminin.” Sang isteri
berkata, “InsyaAllah akan aku lakukan.” Selang beberapa waktu, aku pun kembali
menjenguknya dan ternyata bajunya masih yang itu juga, sehingga aku pun berkata
kepada isterinya, “Wahai Fatimah, tidakkah aku talah memintamu untuk
membersihkan dan mengganti pakaian Amirul Mukminin, karena banyak warga yang
ingin menjenguknya?” Fatimah berkata, “Demi Allah, dia tidak mempunyai baju
yang selain itu.”
Dari Said bin Suwaid, dia berkata, “Sesungguhnya Umar bin Abdul
‘Aziz melakukan shalat Jum’at bersama dengan orang banyak. Kemudian, dia duduk
dengan mengenakan pakaian yangsudah dijahit antara kedua tangannya sampai
belakang. Sehingga seseorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin,
seseungguhnya Allah telah memberikan kemuliaan pangkat dan harta kepada Anda,
tidakkah Anda memakainya?” Mendengar perkataan itu, sang khalifah agak menunduk
kemudian menegakkan kepalanya kembali dan berkata, “Tujuan yang paling baik
adalah jika dicapai dengan bersunguh-sungguh dan memberikan maaf yang paling
baik adalah ketika dia mampu untuk membalas.”
Dari Malik bin Dinar, dia berkata, “Orang-orang berkata, “Malik
bin Dinar adlah orang yang zuhud,” akan tetapi sebenarnya orang yang bisa
dikatakan zuhud itu adalah Umar bin Abdul ‘Aziz yang dikaruniai kemewahan dunia
dengan segala isinya akan tetapi dia memilih untuk meninggalkannya.”
Ahmad bin Abi Al-Hiwari berkata, “Aku pernah mendengar Abu
Sulaiman Ad-Darani dan Abu Shafwan saling berdebat tentang Umar bin Abdul ‘Aziz
dan Uwais Al-Qarni. Abu Sulaiman berkata kepada Shafwan, “Umar bin Abdul ‘Aziz
adalah yang lebih zuhud dibandingkan Uwais Al-Qarni.” Shafwan berkata,
“Mengapa?” Abu Sulaiman menjawab, “Karena Umar bin Abdul ‘Aziz memiliki dunia
dan dia lebih senang untuk meninggalkannya,” Kemudian Shafwan berkata
kepadanya, “Dan Uwais pun jika memilikinya, niscaya dia akan melakukan zuhud
seperti yang dilakukan Umar bin Abdul ‘Aziz.” Setelah itu, Abu Sulaiman
berkata, “Janganlah Anda menyamakan antara orang yang mencoba dengan orang yang
tidak mencoba. Sesungguhnya orang yang bergelimang harta namun harta tersebut
tidak menjadi beban pikirannya lebih baik daripada orang yang tidak bergelimang
harta meski pikirannya juga tidak terbebani oleh harta.”
Kewara’annya
Dari Abu Utsman Ats-Tsaqafi, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz
mempunyai seorang pembantu yang bekerja dengan keledai milik sang khalifah.
Biasanya, sang pembantu memberikan setoran kepada sang khalifah satu dirham
setiap harinya. Pada suatu ketika, pembantu tersebut menyetorkan satu setengah
dirham kepada majikannya itu sehingga Umar bin Abdul ‘Aziz lalu bertanya, “Apa
yang terjadi padamu?” Sang pembantu menjawab, “Aku mendapatkan tambahan nafkah
dari pasar.” Umar berkata, “Tidak, kamu pasti telah membuat keledai itu capek,
istirahatkanlah iam selama tiga hari.”
Ja’wanah berkata, “Ketika Abdul Malik bin Umar bin Abdul ‘Aziz
meninggal dunia, Umar bin Abdul ‘Aziz terlihat bersyukur karenanya. Kemudian,
sesorang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, jika dia masih hidup,
apakah Anda akan mengangkatnya sebagai putera mahkota?” Dengan tegas Umar
menjawab, “Tidak.” Orang itu bertanya lagi, “Mengapa tidak, dan Anda malah
bersyukur atas kematiannya?” Dia menjawab, “Aku takut dia akan menjadi
perhiasan dimataku (yang dapat menghalanginya dari kebenaran), seperti
perhiasan seorang anak pada orang tuanya.”
Dari Jarir bin Hazim dari seorang dari Fatimah binti Abdul
Malik, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkeinginan minum madu. Saat
itu, kami sedang tidak mempunyainya, kemudian kami memerintahkan kepada
seseorang untuk membelikan madu ke Ba’labak dengan kendaraan miliknya, dan
lelaki itupun kembali dengan membawa madu yang kami pesan. Setelah itu, kami
berkata kepada sang khalifah, “Beberapa waktu yang lalu Anda berkeinginan untuk
meminum madu, dan sekarang kami sudah mempunyainya, Apakah Anda masih
menginginkannya?” Dia berkata, “Ya.” Kemudia kami membawakan madu itu
kepadanya, dan dia berkata, “Darimana kalian mendapatkan madu ini?” Aku
berkata, “Kami memerintahkan seseorang yang berkendaraan untuk membelikan madu
dengan dua dinar ke Ba’labak, lelaki itu membelikan madu dengan harga dua dinar
itu.” Mendengar itu, dia berkata, “Panggilkan lelaki itu kemari.” Tidak lama
kemudian lelaki itu datang menghadap, dan Umar berkata, “Pergilah kepasar
dengan membawa madu ini lalu jual, setelah itu, kembalikan uang kami dan
selebihnya serahkan ke baitul mal kaum Muslimin dan belikan makanan untuk
kendaraan Anda itu. Kalaulah muntahanku bermanfaat bagi kaum muslimin, niscaya
akan aku muntahkan (madu yang telah diminumnya.”
Dari Yahya bin Said, dia berkata, “Abdul Humaid bin Abdirrahman
menulis sepucuk surat kepada Umar bin Abdul ‘Aziz. Dalam suratnya itu dia
berkata, “Sesungguhnya telah ada pengaduan kepadaku tentang seseorang yang
mencaci Anda, kemudian aku berniat membunuhnya. Akan tetapi, aku membatalkannya
hingga akhirnya aku berinisiatif menulis surat kepada Anda untuk meminta
pendapat Anda.” Umar bin Abdul ‘Aziz memberikan seseorang tidak berhak untuk
dibunuh hanya karena mencaci orang lain, kecuali yang mencaci Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam. Jadi, caci makilah dia jika kamu menginginkannya,
kemudian lepaskan.”
Kerendahan Hatinya
Dari Raja’ bin Haiwah, dia berkata, “Aku pernah begadang malam
bersama Umar bin Abdul ‘Aziz, tiba-tiba lampu padam. Lalu aku bergegas untuk
berdiri dan memperbaikinya, akan tetapi Umar bin Abdul ‘Aziz melarangku.
Setelah itu, dia memperbaikinya sendiri dan duduk kembali, lalu dia berkata,
“Jika kamu duduk, maka aku tetap Umar bin Abdul ‘Aziz (orang biasa yang tak
perlu diistimewakan). Dan jika kamu berdiri, maka aku juga tetap Umar bin Abdul
‘Aziz dan celakalah seseorang yang memperkerjakan tamunya.”
Komitmennya Terhadap Sunnah Rasulullah
Dari Ziyad bin Mikhraq, dia berkata, “Aku pernah mendengar Umar
bin Abdul ‘Aziz berkhutbah didepan warganya, “Kalaulah bukan karena Sunnah yang
aku hidupkan atau bid’ah yang aku pecundangi, niscaya aku akan menjadi hina dan
tidak bisa hidup mulia dan terhormat.”
Dari Hazm bin Abi Hazm, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz
pernah berkata kepadanya, “Kalaulah semua bid’ah itu bisa terkikis habis karena
usahaku, dan semua sunnah itu bisa jaya karena usaha dan perjuanganku dengan
mengorbankan sedikit dagingku dan sampai akhirnya membutuhkan pengorbanan
jiwaku, niscaya itu sangat mudah bagi Allah.” Imam bin Hambal pernah berkata,
“Sesungguhnya Allah akan mengutus seseorang untuk menghidupkan kembali agama
dan Sunnah Rasul-Nya dan membantah kebohongan yang dituduhkan kepada beliau
setiap seratus tahun sekali. Dan setelah aku amati, ternyata dia adalah Umar
bin Abdul ‘Aziz pada seratus tahun pertama dan Imam Syafi’I pada seratus tahun
kedua.”
Kata-Kata Mutiaranya
Dari Abdurrahman bin Maisarah Al-Hadrami, dia berkata,
“Sesungguhnya Umar bin Abdu ‘Aziz pernah berkata, “Ketakwaan kepada Allah
bukanlah sekedar melakukan puasa pada siang hari, bangun shalat malam dan
melaukan semua rutinitas itu, akan tetapi ketakwaan kepada Allah adalah dengan
meninggalkan apa yang telah diharamkan Allah dan mengerjakan apa yang telah
diwajibkanNya. Barangsiapa yang diberikan kebaikan karena telah melakukan
perbuatan takwa itu, maka dia telah mendapat kebaikan diatas kebaikan.”
Dari Mahmun bin Mihran, dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz
pernah memberikan nasehat kepadaku, dia berkata, “Wahai Maimun, janganlah kamu
menyendiri di tempat sunyi dengan seorang perempuan yang bukan mahram, walaupun
kamu membacakan Al Qur’an untuknya; Janganlah kamu dekat dengan pemerintah
walaupun kamu ingin memerintahkan yang baik dan melarang yang mungkar; Jangan
pula kamu berbuncang-bincang dengan ahli bid’ah, karena itu akan
menjerumuskanmu kedalam sesuatu yang membuat kemurkaan Allah kepadamu.”
Meninggalnya
Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia di Dir Sam’an, pada tanggal
10 atau 5 bulan Rajab tahun 101 Hijriyah. Saat itu dia genap berusia 39 tahun
lebih enam bulan. Meninggalnya karena meminum racun yang telah direkayasa oleh
bani Umayyah sendiri, karena Umar bin Abdul ‘Aziz dikenal tegas terhadap
kezhaliman mereka, mencabut semua kekebalan hukum dan hak istimewa mereka serta
memutus semua sumber dana kekayaan mereka. Dia memang mengabaikan kehati-hatian
dan pengamanan pada dirinya.
Mujahid berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz berkata kepadaku, “Apa
yang dikatakan orang-orang tentangku?” Aku berkata, “Mereka mengatakan bahwa
Anda terkena sihir.” Dia berkata, “Aku tidak terkena sihir, sesungguhnya aku
tahu saat diberi minuman beracun.” Sang khalifah kemudian memanggil budaknya
dan lantas berkata kepadanya,” Celakalah kamu! Apa yang membuatmu tega
memberikan minuman beracun kepadaku?” Sang budak menjawab, “Aku mendapat seribu
dinar dan dimerdekakan.” Dia berkata, “Mana uang itu?” Budak itu datang
mengambil dan memberikan uang tersebut, kemudian Umar bin Abdul ‘Aziz
menaruhnya di Baitul Mal. Selanjutnya Umar berkata, “Pergilah kamu ketempat yang
sekiranya tidak diketahui seorang pun.”
Dari Ubaid bin Hisan, dia berkata, “Ketika Umar bin Abdul ‘Aziz
sedang mengalami sakratul maut, dia berkata, “Keluarlah kalian dari sini,”
Hingga tidak seorangpun didekatnya. Dia mempunyai pelayan bernama Maslamah bin
Abdul Malik. Dia (perawi) berkata, “Kemudian mereka keluar, namun Maslamah dan
Fatimah tetap berada dekat pintu kamar sang khalifah. Ubaid selanjutnya
berkata, “Mereka mendengar Umar bin Abdul ‘Aziz berkata sendiri dari dalam
kamarnya, “Selamat datang kepada wajah-wajah ini, bukan wajah manusia ataupun
jin.” Ubaid berkata, “Kemudian sang khalifah berkata, “Itulah rumah akherat yang Kami
ciptakan bagi orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan
didunia, dan pembalasan bagi orang-orang yang beriman.”
Perawi (Ubaid) berkata, “Kemudian sunyi tidak ada kata yang
terucap, Maslamah lalu berkata kepada Fatimah, “Suamimu telah diambil Yang
Kuasa.” Akhirnya mereka masuk dan menemukan Umar bin Abdul ‘Aziz sudah tiada
dengan tertutup matanya.” Kita akan mengakhiri biografi Umar bin Abdul ‘Aziz
dengan apa yang disebutkan Ibnu Al Jauzi dalam kitab sirah-nya, dia berkata, “Ada
yang memberitahukan kepadaku bahwa Al-Manshur berkata kepada Abdurrahman bin Al
Qasim, “Berilah aku nasehat!” Dia berkata, “Dengan apa yang pernah aku lihat
atau dengan apa yang pernah aku dengar?” Dia berkata, “Dengan apa yang pernah
yang Anda lihat.” Dia berkata, “Umar bin Abdul ‘Aziz meninggal dunia, dengan
meninggalkan 11 putera, harta warisannya 17 dinar. Harta itu lalu digunakan
mereka untuk membeli kain kafan 5 dinar dan kuburannya 2 dinar. Dan yang
tersisa dibagikan kepada semua anggota keluarga dan setiap mereka mendapat 19
dirham.
Hisyam bin Abdul Malik meninggal dunia, dia meninggalkan 11
putera, harta warisannya dibagikan kepada anak-anaknya itu dan masing-masing
mendapatkan ribuan dinar. Dan aku pernah melihat seorang lelaki dari keturunan
Umar bin Abdul ‘Aziz membawa seratus kuda perang untuk dishadaqahkan guna
dipakai berperang dijalan Allah dalam satu hari, dan aku melihat seorang lelaki
dari keturunan Hisyam bin Abdul Malik diberikan shadaqah (karena sudah jatuh
miskin).”
Sumber:
Biografi 60 Ulama Salaf, Syaikh Ahmad Farid: Pustaka Al-Kautsar