Telah ditegaskan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bahwasanya beliau pernah mengerjakan qunut nazilah satu bulan penuh untuk
mendoakan suatu kaum. Dijelaskan pula bahwa beliau juga pernah membaca qunut
untuk mendoakan suatu kaum mustadh’afin (yang tertindas) dari para sahabat
beliau, ketika mereka ditawan oleh orang-orang yang melarang mereka untuk
berhijrah. Setelah sebab-sebab itu hilang, beliau pun segera menghentikan
qunut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah
membiasakan qunut dalam semua shalat wajib, baik shalat subuh maupun
shalat-shalat lainnya. Demikian juga dengan khulafa’ur rasyidin, mereka hanya
mengerjakan qunut seperti yang pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Mereka terus-menerus membaca qunut dalam shalat wajib selama masih ada
penderitaan yang menimpa kaum muslimin. Jika penderitaan itu sirna, mereka pun
meninggalkan qunut.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca qunut dalam
shalat shubuh, zhuhur, ashar, maghrib, dan isya’, namun qunut dalam shalat
shubuh dan maghrib lebih tegas. Jika sebab yang menimbulkan penderitaan itu
hilang, maka beliau pun meninggalkan qunut karena sudah tidak adanya lagi
sebab, bahkan pada shalat shubuh sekalipun. Hal itu mempertegas bahwa doa qunut
pada shalat shubuh secara terus-menerus tanpa adanya sebab kejadian adalah
bid’ah.
Di antara dalil yang menunjukkan disyari’atkannya qunut pada
saat terjadi musibah adalah berupa hadits berikut ini:
x. Hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca qunut selama satu bulan penuh untuk
mendoakan keburukan bagi kabilah Ri’lin dan Dzakwan.” (Muttafaq ‘alaih)
x. Hadits Khafaf bin Ima’ Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, dia
bercerita, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ruku’, kemudian
mengangkat kepalanya seraya berdoa (artinya), ‘Orang-orang yang memohon ampunan
akan diberikan Allah kepadanya dan orang-orang yang berserah diri juga akan
diterima oleh-Nya. Sesungguhnya Ushayyah telah mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.
Ya Allah, kutuklah bani Lahyan, Ri’lan, dan Dzakwan. Kemudian beliau tersungkur
seraya bersujud.’” (HR. Muslim no. 679)
x. Hadits Al-Bara’ bin ‘Azib, dia bercerita, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca qunut pada shalat shubuh dan
maghrib.” (HR. Muslim no. 678)
x. Hadits Anas bin Malik, dia bercerita, “Qunut itu dikerjakan
pada shalat shubuh dan maghrib.” (HR. Bukhari no. 1004)
x. Hadits Abu Hurairah, dia mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku
akan mendekati shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Abu Hurairah
membaca qunut pada rakaat terakhir dari shalat zhuhur, isya’, dan shubuh
setelah mengucapkan, “sami’allahu liman hamidah” lalu dia mendoakan orang-orang
mukmin dan mengutuk orang-orang kafir. (muttafaq ‘alaih)
x. Hadits Ibnu Abbas, dia bercerita, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah membaca qunut satu bulan penuh secara terus menerus
pada shalat zhuhur, ashar, maghrib, isya’, dan shubuh. Setiap selesai shalat
setelah mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” pada rakaat terakhir seraya
mendoakan orang-orang yang masih hidup dari kalangan bani Sulaim, dan mengutuk
Ri’lin, Dzakwan, dan Ushayyah. Orang-orang dibelakang beliau pun mengamininya.”
(HR. Abu Daud no. 1443, Ahmad (I/301-302), Al-Hakim dan Al-Baihaqi (II/200))
x. Hadits Abu Hurairah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah membaca qunut setelah ruku’ dalam shalat selama satu bulan penuh setelah
mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah.’ Di dalam qunutnya, beliau berdoa
(artinya), ‘Ya Allah, selamatkan Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam,
Abbas bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang tertindas (mustadh’afin) dari
kalangan kaum muslimin. Ya Allah, keraskanlah azab-Mu atas Mudhar. Ya Allah,
timpakanlah atas mereka tahun-tahun (paceklik) seperti tahun-tahun Yusuf.’
Abu Hurairah mengatakan, ‘Setelah itu, aku melihat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan doa tersebut untuk mereka.’ Dia
bercerita, ‘Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Apakah
kamu tidak melihat mereka telah datang?’” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Jika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam hendak mendoakan keburukan atas seseorang atau
mendoakan seseorang, beliau membaca qunut setelah ruku’.” (HR. Al-Bukhari no.
4560)
x. Hadits Sa’ad bin Thariq Al-Asyja’I radhiyallahu ‘anhu, dia
bercerita, “Aku pernah katakan kepada ayahku, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya
engkau pernah mengerjakan shalat dibelakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Thalib disini, di Kufah
selama kira-kira lima tahun. Apakah mereka itu membaca qunut pada shalat
shubuh?’” Beliau menjawab, “Wahai anakku, yang demikian itu adalah muhdats
(sesuatu hal yang baru).” (HR. At-Tirmidzi no. 402, An-Nasa’I no. 1080, Ibnu
Majah no. 1241, Ahmad (VI/394))
Dengan demikian, qunut pada shalat shubuh itu tidak dikerjakan
kecuali pada saat terjadi musibah.
Dari seluruh hadits di atas tampak jelas bahwa membaca qunut
pada saat terjadi musibah merupakan suatu hal yang sunnah. Qunut tersebut
dibaca pada setiap shalat lima waktu, tetapi pada shalat maghrib dan shubuh
lebih ditekankan. Doa qunut lebih baik dibaca setelah mengangkat kepala setelah
ruku’. Lebih utama jika disertai dengan mengangkat kedua tangan sambil
mengeraskan suara doa. Makmum yang dibelakang imam disunnahkan supaya mengamini.
Selain itu, qunut pada shalat shubuh selain qunut nazilah adalah bid’ah.
Dengan demikian, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan khulafa’ur rasyidin menunjukkan dua hal, yaitu:
Pertama, doa qunut pada saat terjadi musibah itu
disyari’atkan ketika ada sebab yang menuntutnya, dan tidak disunnahkan untuk
terus-menerus dikerjakan dalam shalat.
Kedua, doa qunut nazilah itu tidak berurutan dan terbatas, tetapi
setiap orang boleh berdoa setiap saat dan saat terjadi musibah sesuai dengan
peristiwa atau musibah yang menimpa. Hal itu didasarkan pada apa yang pernah
dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khalifahnya.
Sumber:
Ensiklopedia Shalat Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Dr. Sa’id
Al-Qathani: Pustaka Imam Syafi’i