Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Doa
adalah ibadah." (HR. Abu Dâwûd dan selainnya, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albânî).
Akan tetapi, banyak di antara manusia melakukan kesalahan dan
kekeliruan dalam berdoa, serta tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga bisa jadi kesalahan dan kekeliruan tersebut menjadi penyebab tidak
dikabulkannya doa seseorang. Berikut ini beberapa kesalahan dalam berdoa yang
sering dilakukan banyak orang.
- BERDOA DENGAN
MENGANGKAT TANGAN BUKAN PADA WAKTUNYA
Mengangkat tangan dalam berdoa merupakan etika yang paling agung
dan memiliki keutamaan mulia serta penyebab terkabulnya doa.
Dari Salmân Al Fârisî bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Sesungguhnya Rabb kalian Maha Hidup
lagi Maha Mulia. Dia malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (meminta
kepada-Nya), lalu dikembalikan dalam keadaan kosong tidak mendapatkan
apa-apa." (HR. Abû Dâwûd, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albânî).
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Dari Anas radhiallahu 'anhu berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak berdoa
dengan mengangkat tangan kecuali dalam shalat istisqa." (HR. Bukhârî).
Berdasarkan kedua hadits ini, sebagian orang ada yang berlebihan
dan tidak pernah sama sekali mau meninggalkan mengangkat tangan. Sebagian yang
lainnya tidak pernah sama sekali mengangkat tangan kecuali waktu-waktu khusus
saja. Sebagian yang lain bersikap pertengahan, artinya mengangkat tangan hanya
pada waktu berdoa yang memang dianjurkan mengangkat tangan pada saat itu,
seperti pada saat berdoa dalam shalat istisqa', dan tidak mengangkat tangan
pada waktu berdoa yang memang tidak ada anjurannya untuk mengangkat tangan,
seperti berdoa sehabis salam pada shalat fardhu, membaca doa di antara dua
sujud, membaca doa sebelum salam pada saat shalat, berdoa pada khutbah Jumat
dan Idul Fitri. Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam mengangkat tangannya pada waktu-waktu tersebut.
- DOA BERSAMA
SETELAH SHALAT
Lajnah Dâ'imah lil Iftâ' (Dewan Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya tentang hal ini, maka dijawab bahwa
berdoa bersama-sama dengan berjamaah setiap setelah shalat fardhu ataupun
sunnah adalah perbuatan yang diada-adakan dalam agama ini (bid'ah), sebab tidak
ada penjelasan sedikit pun dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
para sahabat beliau. Maka barangsiapa yang berdoa bersama-sama dengan berjamaah
setelah shalat fardhu atau rawatib, maka perbuatan tersebut bertentangan dengan
pedoman Ahlus Sunnah wal Jama'ah. (Fatâwâ Islâmiyyah I/318-319).
- MENGUSAP WAJAH
SETELAH BERDOA
Sebagian orang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya,
padahal tidak ada satu hadits pun yang shahih membenarkan perbuatan tersebut.
Abû Dâwûd berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh seseorang
tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab, "Saya
tidak pernah mendengar itu, dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu (dalil)
tentang itu." Abû Dâwûd berkata, "Saya tidak pernah melihat Imam
Ahmad mengerjakan hal itu." (Abû Dâwûd dalam Masâ-il Imâm Ahmad, hal. 71).
- QUNUT PADA WAKTU
SHALAT SUBUH SELAIN QUNUT NAZILAH
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa qunut pada waktu
shalat subuh dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya
pada saat terjadi musibah, beliau qunut selama sebulan mendoakan sekelompok
kaum kafir yang telah membunuh sejumlah sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam agar dihancurkan oleh Allah, kemudian Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam meninggalkan membaca doa qunut.
Kemudian beliau melakukan qunut lagi untuk mendoakan sejumlah
sahabat yang tertahan tidak bisa turut hijrah bersama beliau.Begitu pula
Khulafâur-Râsyidûn tidak pernah melazimkan qunut tersebut dan juga tidak
meninggalkannya sama sekali.
Para ulama dalam masalah ini berbeda pendapat; di antara mereka
ada yang berpendapat sunnah, sementara yang lainnya berpendapat bahwa anjuran
tersebut sudah dinâsakh (dihapus) dan termasuk perbuatan bid'ah. Dan yang
lainnya berpendapat bahwa disunnahkan qunut pada saat dibutuhkan. Pendapat
terakhir inilah yang kuat karena sesuai dengan praktik yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para
Khulafâur-Râsyidûn. (Majmu' Fatâwâ karya Ibnu Taimiyah, 23/98-99).
Sumber:
Buletin Al Fikrah Ed.07/Thn VII/10 Dzulqa'dah 1427 H