Jerat dan tipu daya setan yang paling besar yaitu tatkala
orang-orang kaya senantiasa dikepung angan-angan tiada berujung. Sepanjang hari
dan waktunya hanyut dalam kelezatan-kelezatan dunia yang mencegahnya untuk
ingat kepada alam akhirat. Jika mereka telah termakan oleh tipu daya setan,
dengan cara menjadikan harta sebagai segalanya, selanjutnya setan menyuruh
mereka kikir, dengan anggapan bahwa harta itu adalah hasil usaha dan
keringatnya semata. Itulah jerat yang paling ampuh dan kuat yang dimiliki
setan.
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Setan lalu menyembunyikan tipu daya dan jeratnya itu dengan cara
yang sangat samar. Dia menakut-nakuti kaum mukminin untuk tidak mencari dan
mengumpulkan harta, hingga orang-orang yang cinta akhirat dijauhkan darinya,
serta orang-orang yang baru bertaubat langsung melepas seluruh harta dari
genggamannya. Walau begitu, setan masih saja mengiming-iminginya agar berzuhud,
meninggalkan kerja; menakut-nakutinya yang hendak mencari jalan memperoleh
rezeki, dengan cara memberikan bayangan kepadanya itu adalah cara terbaik dan
sangat mujarab untuk menjaga kebersihan agamanya.
Di dalamnya terkandung sebuah
tipu daya yang sangat mematikan. Bisa saja setan membisikkan
kepadanya lewat guru-guru dan para alim yang kini menjadi panutan orang-orang
yang bertaubat, “Keluarkanlah hartamu dan masuklah ke dalam barisan orang yang
zuhud, karena jika engkau masih menyisakan makanan untuk makan siang dan makan
malammu, engkau belumlah termasuk orang-orang yang zuhud dan engkau tak akan
memperoleh derajat kaum yang bersungguh-sungguh. Mungkin mereka termakan oleh
hadits-hadits yang tidak jelas kedudukannya.”
Tatkala seluruh harta miliknya telah habis dan ia tidak lagi
memiliki usaha, ia kembali kepada keadaannya semula, ingin berteman dengan
kawan-kawan lamanya, serta pandangannya dihiasi anggapan bahwa bergaul dengan
penguasa adalah menyenangkan. Ia tak mampu lagi berzuhud kecuali dalam hitungan
hari, kemudian kembali pada tabiat awalnya, yang justru menjerumuskannya
kembali kepada jurang kesesatan yang lebih dalam. Ia kemudian menjual agamanya
untuk memperoleh dunianya. Ia menjadikan agama laksana sapu tangan yang hanya
dibuat untuk membersihkan kotoran.
Ia akhirnya berada di pihak yang terkalahkan, direndahkan, dan
disingkirkan. Jika ia merenungi dan mengambil hikmah dari kisah orang-orang
besar dan terhormat di masa lalu, ia akan tahu bahwa Nabi Ibrahim memiliki
sejumlah kekayaan dan harta hingga wilayah tempat tinggalnya menjadi sempit
dipenuhi ternak peliharaannya. Demikian juga Luth dan sebagian besar nabi dan
rasul serta para sahabat. Mereka bersabar tatkala betul-betul harta dan
kekayaannya memang sudah tiada.
Mereka sama sekali tidak bermalas-malasan untuk mencari nafkah
demi kemasalahatan mereka dan tidak segan-segan menikmati yang mubah dan halal
tatkala ada. Abu Bakar melakukan bisnis saat Rasulullah masih hidup. Kebanyakan
sahabat mengeluarkan kelebihan harta bendanya dan tidak pernah mengambil dari
kas Negara. Mereka memberikan harta kekayaannya kepada sahabat-sahabat yang
membutuhkan. Jika diberi sesuatu mereka tidak pernah menolak, namun tak pernah
pula meminta.
Kebanyakan ulama dan ahli agama demikian keadaannya. Awalnya
mereka disibukkan oleh ilmu, namun tatkala membutuhkan sesuatu untuk keperluan
dan hajatnya sehari-hari, mereka malah menjadi hina dengan cara menengadahkan
tangan dan meminta-minta. Padahal, merekalah orang yang paling berhak untuk
tidak melakukan itu semua.
Dahulu, pada saat baitul mal masih ada, sangatlah cukup bagi
orang-orang yang menerjunkan diri sepenuhnya adalah kegiatan agama untuk
mengambil bagian dari baitul mal. Akan tetapi, tatkala kini tak ada lagi baitul
mal, tak ada cara lain bagi orang yang mengaku beragama, namun tanpa usaha atau
bisnis, kecuali harus menjual agamanya. Alangkah celakanya jika ia sampai
menjual agamanya dan tidak menghasilkan apa-apa dari tindakannya itu.
Oleh sebab itu, wajiblah bagi orang yang cerdas untuk memelihara
apa yang dimilikinya dan rajin berusaha untuk tidak membuka peluang bagi
kezaliman atau penghinaan orang-orang yang bodoh. Sikapilah dengan arif
omongan-omongan orang yang mengajak pada kemiskinan. Orang itu menganggap
kesabaran menerima kefakiran akan berbuah pahala laksana kesabaran menerima
suatu penyakit, kecuali memang dia pengecut, tidak mau berusaha dan merasa
cukup hanya dengan meminta-minta.
Seorang pahlawan adalah sosok yang selalu berusaha untuk memberi
dan bukan minta diberi; yang bersedekah dan bukan minta disedekahi.
Shaidul Khadir, Ibnu Al-Jauzi: Maghfirah Pustaka