Begitu banyak kaum yang binasa akibat melanggar syari’at sebagai
alasan atas kejahilan dan kezhaliman mereka. Allah Ta’ala berfirman, artinya: “Sungguh
Kami telah mengemukakan amanah pada langit, bumi dan gunung-gunung. Maka
semuanya enggan untuk memikul amanah tersebut dan mereka khawatir terhadapnya
dan dipikullah amanah tersebut oleh manusia . Sungguh, manusia itu amat zhalim
dan amat bodoh.” (QS. Al Ahzab:72)
Syaikh Abdurrahman Ibn Nashir as-Sa’di berkata, ”Allah
mengagungkan urusan amanah yang Dia amanatkan kepada para mukallaf, yaitu
melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangan, dalam kondisi
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.”Kenyataannya,
mayoritas manusia lebih sulit untuk meninggalkan larangan dibandingkan
melaksanakan perintah. Padahal logikanya, seharusnya meninggalkan larangan
relatif lebih mudah dibandingkan melaksanakan perintah. Sebab untuk
meninggalkan larangan tidak diperlukan usaha dan tenaga, berbeda dengan
perintah. Hal ini disebabkan, meninggalkan perkara yang dilarang itu
bertentangan dengan hawa nafsu.
Berbeda dengan melaksanakan perintah, yang pada
umumnya tidak bertentangan dengan hawa nafsu. Karena itulah Allah Ta’ala menganugerahkan
ganjaran yang besar dan member pujian pada orang yang mampu menahan hawa
nafsunya. Sebagian ulama bahkan mengatakan larangan itu sifatnya lebih berat
dibandingkan perintah. Sebab, tidak ada dispensasi (keringanan) sedikitpun bagi
pelanggaran larangan, sedangkan pelaksanaan perintah dilakukan sesuai kemampuan
sebagaimana sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, artinya: “jika
aku melarang dari sesuatu maka tinggalkanlah dan apabila aku perintahkan
sesuatu kepada kalian maka lakukan semampu kalian.” (HR.
Bukhari-Muslim)
(Baca juga: koleksi
kain tenun tapis Lampung terlengkap)
Hal ini juga senada dengan ucapan sebagian salaf, “amal-amal
kebajikan itu dilakukan oleh orang baik maupun pendurhaka. Sedangkan maksiat
hanya dapat ditinggalkan oleh orang yang shiddiq (jujur, teguh keimanannya).”
Imam Ibn Qayyim rahimahullah berkata, “
sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun diatas hikmah dan
kemaslahatan para hamba, didunia dan akhirat. Seluruh syari’at Islam adalah
keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.”
Syari’at Islam itu sendiri terdiri dari perintah dan larangan ,
maka larangan yang berlaku terhadap para hamba pun didasarkan atas hikmah dan
kemaslahatan. Tujuan dari syari’at diantaranya yaitu (1) untuk pemeliharaan
agama, seperti larangan bagi seorang Muslim untuk pindah agama, (2)
pemeliharaan jiwa, seperti larangan untuk membunuh jiwa tanpa alasan yang
dibenarkan syari’at, (3) pemeliharaan akal, seperti larangan untuk meminum khamr, (4)
pemeliharaan keturunan, seperti larangan berzina dan (5) pemeliharaan harta ,
seperti larangan mencuri.
Mengingat eksistensi larangan itu dibangun diatas hikmah dan
maslahat maka pelanggaran terhadap larangan dan perbuatan dosa pasti akan
menimbulkan mudharat, baik didunia maupun diakhirat. Perbuatan inilah yang telah
membinasakan umat-umat terdahulu. Bukankah akibat dosa dan maksiat yang
menyebabkan Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga yang penuh dengan kenikmatan
menuju dunia yang penuh dengan penderitaan dan kesedihan? Bukankah dosa yang
menyebabkan tenggelamnya penduduk bumi (kaum Nabi Nuh), hingga air menutupi
puncak-puncak gunung? Renungilah bagaimana suara yang menggelegar membinasakan
kaum Tsamud, terjadinya hujan batu dan terangkatnya tanah hingga menjungkir
balikkan kaum Luth, terkirimnya awan yang menurunkan hujan api yang
menghancukan kaum Syu’aib dan binasanya orang-orang yang zhalim seperti Fir’aun
disebabkan oleh dosa-dosa?
Sungguh seseorang belumlah dikatakan bertakwa selama ia masih
melakukan perbuatan yang dilarang syari’at walaupun ia seorang yang tekun
menjalankan perintah agama. Sebab definisi dari takwa itu sendiri melaksanakan
segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-laranganNya. Termasuk cermin
pribadi yang bertakwa yaitu meninggalkan perkara-perkara yang masih samar (syubhat),
yaitu perkara yang tidak jelas antara kehalalan dan keharamannya. Sebab,
apabila seseorang terjerumus kedalam perkara yang syubhat maka
dikhawatirkan ia telah terjerumus kedalam perkara yang haram sementara ia tidak
menyadarinya. Jika perkara yang syubhat saja diperintahkan
untuk ditinggalkan maka untuk perkara yang haram tentu lebih ditekankan untuk
ditinggalkan sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam,
artinya: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas.
Diantara keduanya ada perkara yang samar (syubhat), dimana kebanyakan manusia
tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara-perkara yang
samar, maka sungguh dia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan barang
siapa yang terjatuh dalam perkara-perkara yang samar, maka ia akan terjatuh
dalam perkara-perkara yang haram. Bagaikan penggembala kambing yang
menggembalakan kambingnya diperbatasan orang lain, hamper-hampir dia jatuh
kedalamnya .Ketahuilah, setiap raja memiliki batasan. Ketahuilah, sesungguhnya
batasan Allah adalah perkara-perkara yang diharamkanNya.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Sesungguhnya totalitas agama itu berpulang pada pelaksanaan
perintah, meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menahan diri dari syubhat.
Umar Ibn Abdul Aziz berkata, ”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan shalat
malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan itu
adalah mengerjakan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dan meninggalkan apa-apa
yang diharamkan oleh Allah.” Beliau juga berkata, ”Aku ingin sekiranya aku
tidak mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan
zakat dan kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham;
melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya
satu hari; mengerjakan haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi;
akan tetapi kemudian aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari
perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”
Benteng pelindung seorang hamba dari perkara-perkara yang haram
dan dilarang adalah takwa kepada Allah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda, artinya: ”Bertakwalah kepada Allah dimanapun
engkau berada. Iringilah perbuatan burukmu dengan kebajikan, niscaya kebajikan
itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR.
at-Tirmidzi, Ahmad)
Imam Ibn Rajab berkata, ”perkara-perkara yang masuk kedalam
ketakwaan yang sempurna adalah melaksanakan perkara-perkara yang wajib dan
meninggalkan perkara-perkara yang haram serta syubhat. Bisa jadi kemudian masuk
didalamnya mengerjakan perkara-perkara yang sunnah dan meninggalkan
perkara-perkara yang makruh. Inilah tingkat ketakwaan yang paling tinggi.”
(Diringkas dari buku Sepercik Hikmah di Balik Larangan dalam
Syari’at Islam, Abu Faris An-Nuri, Media Tarbiyah)